BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Sebagai salah satu bagian dari ilmu sosial, ilmu hukum berperanan penting dalam kehidupan manusia. Hukum yang selama ini kita kenal memiliki memiliki karakter normatif yang berdampak untuk mengatur masyarakat agar tercipta suasana keadilan. Ilmu hukum sebagai suatu disiplin pengetahuan akan hukum telah banyak dibahas oleh kebanyakan ilmuwan hukum. Pada dasarnya mereka mencari aspek praktis hukum sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Akan tetapi mereka belum menyentuh akar-akar permasalahan dibentuknya suatu hukum.
Filsafat sebagai suatu disiplin yang bertugas membongkar hakekat persoalan dapat membantu tugas ilmuwan hukum untuk membongkar problem fundamental dalam ilmu hukum yang mungkin selama ini belum sempat terpikirkan oleh para ilmuwan hukum dalam disiplin ilmu mereka.
Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk membongkar problem fundamental ilmu hukum tersebut dengan menggunakan beberapa dimensi kefilsafatan yaitu dimensi metafisik, dimensi epistemologis, dan dimensi aksiologis. Dimensi tersebut digunakan penulis untuk mempermudah mengungkap apa sebenarnya yang terjadi di dalam ilmu hukum sehingga baik masyarakat ilmiah maupun masyarakat awam dapat merasakan unsur-unsur filosofis dalam ilmu hukum sekaligus merasakan akar-akar persoalan yang selama ini terdapat dalam ilmu hukum.
2. Rumusan Masalah
1. Apa saja aliran-aliran hukum yang populer di dunia?
2. Bagaimana dimensi metafisik, dimensi epistemologis, dan dimensi aksiologis yang terdapat dalam ilmu hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Perkembangan Ilmu Hukum
Untuk dapat mengetahui aliran-aliran hukum yang selama ini populer berkembang di dunia, ada baiknya untuk terlebih dahulu menelusuri sejarah perkembangan ilmu hukum agar dapat diketahui secara pasti bagaimana awal dan berkembangnya ilmu hukum yang selama ini ada dalam masyarakat.
Sejauh penelusuran penulis, ilmu hukum berkembang selama 6 zaman yaitu zaman purba, Yunani Kuno, pertengahan, renaissance, modern, dan kontemporer.
a. Zaman Purba (abad 15-7SM)
Dalam Kekaisaran Babilonia tepatnya di Mesopotamia terdapat hukum Hammurabi (hukum pertama yang tercatat di dunia dan dapat dianggap sebagai pendahulu dari sistem hukum resmi seperti yang saat ini berlaku pada masyarakat modern). Hukum tersebut memandang alam sebagai pelindung keadilan. Hammurabi mempercayai Dewa Matahari yaitu Dewa Shamash sebagai sang pemberi hukum dan dewa pelindung keadilan bagi rakyat Babilonia.
Hukum dalam Kerajaan Mesir kuno tidak kalah kuatnya dengan hukum Kekaisaran Babilonia. Hukum Mesir kuno memandang Dewi Maat sebagai dewi yang mengatur kebenaran, keseimbangan, keteraturan, hukum, moralitas,dan keadilan.
Manusia dalam hukum India kuno telah mengenal ketentuan yang mengatur perjanjian (treatis), hak dan kewajiban raja, perbedaan antara kombatan dan non kombatan, serta ketentuan terhadap tawanan perang dan cara-cara berperang.
Dalam Hukum Cina kuno terdapat 16 jenis hukuman sadis yang pada masa ini sangat menyiksa orang yang melakukan tindakan kriminal.
b. Zaman Yunani Kuno (abad 7SM-6M)
Masalah hubungan antara keadilan dan hukum positif menjadi pusat perhatian para ahli pikir Yunani. Pada masa-masa sebelumnya, para pemikir alam dari Milesia beranggapan bahwa sebagai sumber hukum, alam bebas lebih kekal dari undang-undang buatan manusia.
Merosotnya demokrasi di Athena, dalam perang Peloponesus dan sesudahnya, menjadi bahan perenungan tentang keadilan yang mendominasi pemikiran Plato dan Aristoteles mengenai hukum.
Plato berusaha mendapatkan konsep keadilan dari ilham sementara Aristoteles mengembangkannya dari analisis ilmiah atas prinsip-prinsip rasional dengan setting model-model masyarakat politik dan undang-undang yang telah ada.
Pada zaman ini rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai suatu penjelmaan dari rasio Tuhan. Rasio manusia terlepas dari ketertiban Ketuhanan. Dan rasio manusia yang berdiri sendiri ini merupakan sumber satu-satunya dari hukum. Unsur logika manusia merupakan unsur penting dalam pembentukan hukum.
c. Zaman Pertengahan (abad 6-15M)
Selama abad pertengahan, dunia Barat dikuasai oleh satu sistem feodal yang berpuncak pada kaisar sedangkan kehidupan gereja berpuncak pada Paus sebagai Kepala Gereja Katolik Roma.
Ilmu hukum berkembang dari abad kedua belas hingga permulaan abad keempat belas dan mencapai puncaknya dalam sistem skolastik St. Thomas Aquinas dengan beberapa pertimbangan :
1. Masyarakat politik dan negara tidak lagi dianggap sebagai lembaga dosa. Sebaliknya, keduanya menjadi wadah dari tujuan moral dan sarana dalam merealisasikan keadilan dan kebajikan.
2. Penegasan terhadap hukum sebagai prinsip tertinggi dari masyarakat abad pertengahan.
3. Penafsiran sifat kewenangan dari hukum tertinggi.
4. Timbulnya persoalan mengenai sumber kekuasaan hukum dalam masyarakat sipil.
Sistem Thomas Aquinas berkeyakinan bahwa akal budi manusia cukup berdaya untuk mencapai kebenaran hidup. Tuhan melebihi pengetahuan manusiawi, hal ini mengakibatkan bahwa tidak ada artinya berbicara mengenai suatu hukum abadi dalam Tuhan sebagai dasar hukum alam.
d. Zaman Renaissance (abad 15-17M)
Penekanan pada abad ini adalah ilmu hukum tidak terikat lagi oleh gereja dan raja. Ilmu hukum cenderung beralih pada hukum alam.
Akibat perang salib dan ditemukannya benua-benua baru telah membantu menghancurkan landasan perekonomian pada tatanan abad pertengahan dan meletakkan dasar bagi ekspansi perdagangan. Perubahan-perubahan ini membawa serta pada problema-problema dan dalil-dalil hukum baru.
Tokoh sentral perkembangan ilmu hukum pada masa ini adalah Hugo Gratius. Menurutnya, sifat manusia yang khas adalah keinginannya untuk bermasyarakat, untuk hidup tenang bersama kawan-kawan, dan ini sesuai dengan watak inteleknya. Prinsip-prinsip hukum alam berasal dari sifat intelek manusia yang menginginkan suatu masyarakat yang penuh damai dan prinsip-prinsip itu terlepas dari perintah Tuhan.
e. Zaman Modern (abad 17-19M)
Akibat konstruksi negara modern, dituntut pula pengorganisasian sistem hukum sebagai susunan hirarkis dari kekuasaan yang sah.
Pada prinsipnya pemisahan hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada adalah asumsi filosofis fundamental dari positivisme hukum. Dengan menyisihkan nilai-nilai yang mendasari sistem hukum yang pada hakikatnya tidak relevan dengan ilmu hukum analitis, positivisme analitis dapat mencurahkan perhatiannya pada susunan sistem hukum yang “positif”. Ini menyebabkan kaum positivis menguraikan secara terinci susunan hukum dalam negara modern, dari “perintah yang berdaulatnya” Austin ke dalam hirarki Kelsen mengenai norma-norma yang diambil dari norma dasar yang hipotetis.
Hart membedakan lima arti dari positivisme dalam ilmu hukum kontemporer, yaitu:
1. Anggapan bahwa undang-undang adalah perintah-perintah manusia.
2. Anggapan bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum yang ada dan seharusnya ada.
3. Anggapan bahwa analisis (atau studi tentang arti) dari konsepsi-konsepsi hukum: layak dilanjutkan, harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab atau usul dari undang-undang dari penelitian-penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan kritik atau penghargaan hukum apakah dalam arti moral, tuntutan-tuntutan sosial, “fungsi-fungsinya”, atau sebaliknya.
4. Anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu “sistem logis tertutup” di mana putusan-putusan hukum yang tepat dapat dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan, norma-norma moral.
5. Anggapan bahwa penilaian-penilaian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan, seperti halnya dengan pernyataan-pernyataan tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk, atau bukti.
Tokoh yang berpengaruh pada abad ini adalah John Austin. John Austin mempertahankan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Tugas ilmu hukum hanyalah untuk menganalisis unsur-unsur yang nyata ada dari sistem hukum modern. Hukum menurut Austin, dibagi dalam hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk manusia (hukum manusia) dan undang-undang yang diadakan oleh manusia untuk manusia (hukum manusia).
f. Zaman Kontemporer (abad 20-sekarang)
Pada abad ke-duapuluh, studi hukum banyak mengalami perubahan dari ranah dasarnya sebagai suatu ilmu, hal itu terjadi dengan kemunculan aliran socilogical jurisprudensi yang dipelopori oleh Roscoe Pound (1911). Pound mengajukan gagasan tentang suatu studi hukum yang juga memperhatikan efek sosial dari bekerjanya hukum. Studi tentang hukum tidak bisa dibatasi hanya tentang studi logis terhadap peraturan hukum penerapannya, melainkan juga akibat yang timbul terhadap masyarakat.
Ilmu hukum pada zaman kontemporer ditandai dengan munculnya teori hukum murni. Teori hukum murni merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yakni yang hanya mengembangkan hukum itu sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter. Teori ini lazim dikaitkan pada mazhab Wina dengan tokoh Hans Kelsen.
Ilmu hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen, dan hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai nilai”. Ia pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu hukum murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis dengan tegas.
Dari sedikit penjelasan mengenai sejarah perkembangan ilmu hukum di atas kita dapat mengambil setidak-tidaknya ada 6 aliran besar yang populer dianut oleh ilmuwan hukum dunia. Aliran tersebut antara lain aliran hukum alam, aliran positivisme hukum, aliran utlitarianisme, mazhab sejarah, aliran sociological jurisprudence, dan aliran realisme hukum.
Penjabaran singkat aliran hukum tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Aliran Hukum Alam
-Yang dimaksud adalah hukum yang bersifat abadi dan universal.
-Sumbernya: dari Tuhan (irasional) dan akal (rasio) manusia.
-Tokoh: para pemikir skolastik di abad pertengahan.
2. Aliran Positivisme Hukum
-Hukum positif analitis, dipelopori oleh John Austin
Hukum positif analitis mengartikan hukum sebagai perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup.
-Hukum positif murni, dipelopori oleh Hans Kelsen
Dikatakan murni karena hukum itu harus dibersihkan dari hal-hal yang tidak yuridis, yaitu masalah etis, sosiologis, politis, dan sejarah. Ilmu Hukum adalah normatif, sebagaimana adanya yaitu terdapat dalam berbagai peraturan yang ada.
3. Aliran Utilitarianisme
Dalam aliran utilitarianisme hukum terdapat dua konsep utilitarianisme hukum yang dikemukakan oleh 2 orang tokoh, yaitu:
-Bentham, dengan konsepnya Individual Utilitarianisme, di mana perundangan hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar masyarakat.
-Jhering, dengan konsepnya Social Utilitarianisme di mana hukum dibuat oleh negara atau dasar kesadaran sepenuhnya untuk mencapai tujuan tertentu.
4. Mazhab Sejarah
Dipelopori oleh Von Savigny yang beranggapan bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Hukum ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa. Pandangan ini berpengaruh pada hukum adat. Selain itu, dipelopori juga oleh Sir Henry Maine yang beranggapan bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan perkembangan masyarakat dari yang sederhana ke masyarakat yang kompleks dan modern.
5. Aliran Sosiological Jurisprudence
Dipelopori oleh Roscoe Pound dengan anggapan bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial.
6. Aliran Realisme Hukum
Oleh J.C Gray dan O.W Holmes, undang-undang tidak ditempatkan sebagai sumber utama hukum. Unsur logika memegang faktor penting dalam pembentukan perundang-undangan, juga unsur kepribadian, prasangka, dan unsur lain yang berpengaruh besar.
Keenam aliran besar ilmu hukum menurut Lili Rasjidi di atas menjadi problema mendasar yang dapat dikaji secara filosofis. Aliran-aliran hukum tersebut dianalisis melalui beberapa dimensi filsafat untuk mempermudah dalam membongkar akar-akar fundamental yang membangun ilmu hukum. Dengan demikian ilmu hukum akan dikaji melalui dimensi metafisik, dimensi epistemologis, dan dimensi aksiologis. Lili Rasjidi, di dalam karyanya mengenai Filsafat Hukum belum merinci dimensi kefilsafatan tersebut dalam setiap aliran.
2. Ilmu Hukum dari Tinjauan Filsafat
a. Dimensi Metafisik atas Ilmu Hukum
Metafisika ingin mengungkapkan kenyataan kehidupan. Metafisika merupakan pertanyaan mengenai semua, yakni semua yang ada. Metafisika ingin memberi penjelasan terakhir dan definitif mengenai yang ada.
Metafisika sebagai cabang umum dari filsafat mengkaji yang ada, dalam arti semua realitas, atau apa saja yang berada .
Metafisika merupakan studi yang unik karena menyangkut realitas dalam semua bentuk atau manifestasi, bukan bagian tertentu realitas. Tidak dipedulikan di sini apakah bentuk itu atau manifestasi itu pada tingkat indrawi atau tidak.
Dalam hal pengaplikasian landasan metafisik dalam ilmu hukum, metafisika ingin mengungkap hakekat realitas dalam ilmu hukum yaitu bagaimana sebenarnya ilmuwan hukum dalam berbagai aliran ilmu hukum itu memandang Tuhan, manusia, dan hukum itu sendiri sebagai yang ada dibalik adanya ilmu hukum.
1. Landasan metafisik aliran hukum alam:
Pada dasarnya, ilmuwan hukum alam memandang alam sebagai akal dan meresapi seluruh alam semesta dan dianggap sebagai dasar dari hukum dan keadilan. Ilmuwan hukum alam memiliki pandangan terhadap Tuhan sebagai nafas keagamaan yaitu berkaitan dengan ajaran-ajaran gereja. Manusia dianggap sebagai individu yang memiliki kekhasan intelektual yaitu keinginan untuk bermasyarakat yang penuh damai dan hidup tenang bersama. Berkaitan dengan hal tersebut, ilmuwan hukum alam memandang hukum sebagai sebuah teori yang bersandar pada tabiat manusia yaitu sebagai makhluk berakal serta menunjukkan pada manusia bahwa ia adalah ciptaan kehendak dan kecerdasan Tuhan.
2. Landasan metafisik aliran positivisme hukum:
Ilmuwan psoitivisme hukum memandang Tuhan sebagai pembuat hukum untuk manusia (hukum Tuhan) sebagaimana undang-undang dibuat manusia untuk manusia. Manusia dianggap sebagai masyarakat yang berkembang dan berubah serta menimbulkan semangat dan sikap kritis terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Ilmuwan positivisme hukum memandang hukum sebagai bangunan rasional dan dari titik ini berbagai teori dan pemikiran dikembangkan maka hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
3. Landasan metafisik aliran utilitarianisme:
Ilmuwan utilitarianisme hukum memandang manusia sebagai individu yang berhak mendapat kebahagiaan sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan dan memandang hukum itu sendiri sebagai dasar kesadaran untuk mencapai tujuan tertentu.
4. Landasan metafisik mazhab sejarah:
Manusia dipandang oleh ilmuwan mazhab sejarah sebagai jiwa rakyat yang merupakan sumber dari adanya hukum. Hukum itu tumbuh dengan adanya perkembangan dan akan kuat bila masyarakatnya kuat dan suatu bangsa akan mati oleh hilangnya rasa nasionalisme.
5. Landasan metafisik aliran sociological jurisprudence:
Ilmuwan hukum aliran sociological jurisprudence menganggap manusia sebagai pusat perkembangan hukum bukannya terletak pada perundang-undangan, ilmu hukum ataupun keputusan hakim. Hukum itu sendiri merupakan lembaga kemasyarakatan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial.
6. Landasan metafisik aliran realisme hukum:
Ilmuwan aliran realisme hukum memandang manusia sebagai organisasi politik yang dengan akalnya membuat dan mengesahkan undang-undang. Hukum dipandang sebagai alat untuk membangun masyarakat.
b. Dimensi Epistemologi atas Ilmu Hukum
Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah hakekat pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi merupakan disiplin filsafat yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan.
Secara umum, epistemologi membahas teori-teori mengenai pengetahuan qua pengetahuan, kebenaran dan kepastian qua kebenaran dan kepastian.
Epistemologi digunakan untuk melihat asumsi ilmuwan hukum dari berbagai aliran hukum yang ada mengenai hakekat sumber kebenaran, metode yang digunakan, serta alat pengujian keabsahan kebenaran ilmu hukum (berkaitan dengan validitas ilmu hukum). Dengan mengetahui epistemologi hukum maka persoalan mendasar mengenai pengetahuan sebagai pembentuk ilmu hukum dapat dikenal bahkan menurut masing-masing aliran yang populer dianut oleh para ilmuwan hukum.
1. Landasan epistemologis aliran hukum alam:
Sumber kebenaran yang diyakini sebagai pembentuk aliran ini adalah Tuhan karena Tuhan dianggap sebagai pemberi jalan dalam konsep hukum berkaitan dengan ajaran-ajaran-Nya. Dengan demikian metode yang digunakan adalah metode hermeneutis sebab ilmuwan aliran hukum alam berusaha menafsirkan ajaran-ajaran dari Tuhan untuk dibawa kepada hukum dalam bermasyarakat. Untuk itu, teori kebenaran semantik sekiranya dapat dijadikan landasan uji keabsahan terhadap kebenaran atas teori hukum alam ini. Menurut Imam Wahyudi, teori kebenaran semantik menganggap proposisi dinyatakan benar dalam hubungannya dengan segi ‘arti’ atau ‘makna’ yang dikandungnya. Teori kebenaran ini terasa cocok disandingkan dengan metode hermeneutis yaitu menafsirkan dengan alat uji keabsahannya dari segi semantik.
2. Landasan epistemologis aliran positivisme hukum:
Sumber kebenaran dari aliran ini yaitu Tuhan dan kemauan juga akal manusia karena ilmuwan aliran ini sama sekali tidak mengabaikan posisi Tuhan di samping memperhatikan rasio manusia. Metode normatif merupakan metode yang digunakan ilmuwan positivisme hukum. Metode normatif merupakan metode penganalisis undang-undang sebab objek pembahasannya adalah norma atau kaedah. Untuk menguji keabsahannya, teori kebenaran non-deskriptif dapat digunakan karena teori ini menekankan penggunaan kata benar untuk menyatakan setuju atau menerima suatu proposisi dan salah sebagai menolak suatu proposisi. Pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas tetapi justru dengan pernyataan itu tercipta suatu realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Teori kebenaran inilah yang digunakan John Austin dalam menguji kebenaran atas teori yang digagasnya.
3. Landasan epistemologis aliran utilitarianisme:
Sumber kebenaran dalam aliran ini yaitu undang-undang yang mencerminkan keadilan sebab undang-undang yang diciptakan ilmuwan aliran ini sangat menekankan aspek tujuan yang membahagiakan masyarakat. Untuk itu, metode empiris dirasa dekat dengan aliran ini karena metode ini berusaha menganalisis masalah-masalah hukum disertai dengan solusi atas masalah tersebut yaitu hukum yang selama ini dirasa belum mencapai kebahagiaan masyarakat. Oleh karena itu ilmuwan aliran utilitarianisme berusaha melihat kondisi masyarakat yang terjadi dan menyusun undang-undang yang memberi kenyamanan dalam hidup bermasyarakat. Teori kebenaran pragmatis dapat dijadikan alat uji keabsahan dalam aliran ini sebab teori kebenaran pragmatis menganggap benar suatu ide apabila ide tersebut memungkinkan subjek berhasil memperbaiki dan menciptakan sesuatu. Selain itu, teori kebenaran ini menyatakan bahwa suatu ide atau teori tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu.
4. Landasan epistemologis mazhab sejarah:
Sumber kebenaran dalam aliran ini adalah pergaulan hidup manusia dari masa ke masa karena undang-undang diciptakan menurut kondisi kehidupan bermasyarakat. Metode historis dan empiris berperanan dalam aliran ini sebab aliran ini menekankan pada aspek historis masyarakat dengan menggunakan indrawi dalam memotret realita yang terjadi. Teori koherensi dapat dijadikan alat uji keabsahan terhadap teori dari aliran ini karena menurut teori ini, kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara proposisi dengan kenyataan melainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada . Berhubungan dengan relasi antar kejadian historis yang dijadikan dasar dalam penentuan hukum dalam aliran ini.
5. Landasan epistemologis aliran sociological jurisprudence:
Sumber kebenarannya adalah dari masyarakat sebab masyarakat berperan sebagai subjek pembuat undang-undang sekaligus objek yang menjalankan undang-undang tersebut. Metode sosiologis merupakan metode yang digunakan oleh ilmuwan aliran ini karena ilmuwan berusaha untuk merunut hukum dalam tinjauan isi dan bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan. Teori kebenaran korespondensi dapat dijadikan alat uji keabsahan terhadap kebenaran dalam aliran ini karena dalam teori kebenaran korespondensi dinyatakan bahwa pernyataan yang benar adalah sesuai suatu objek, situasi, dan kejadian (yang dalam hal ini sesuai dengan tata urutan kondisi sosiologis masyarakat per kejadian).
6. Landasan epistemologis aliran realisme hukum:
Sumber kebenaran aliran ini adalah akal dan logika manusia karena dengan kemampuan manusia tersebut hukum dapat tercipta. Metode yang digunakan yaitu metode deduksi di mana dalam metode tersebut, ilmuwan aliran realisme hukum melakukan proses pencarian kebenaran melalui penerapan logika. Teori kebenaran koherensi merupakan pendekatan yang digunakan dalam menentukan uji keabsahan aliran ini sebab penyesuaian antara proposisi dengan kenyataan melalui unsur logika sangat ditekankan dalam pengambilan keputusan kebenaran dalam aliran ini.
c. Dimensi Aksiologis atas Ilmu Hukum
Dimensi aksiologis memunculkan hubungan antara ilmu dengan perihal nilai. Dalam kaitannya dengan ilmu hukum, dimensi aksiologis berusaha membongkar hubungan antara ilmu hukum dengan nilai terkait dengan persoalan fundamental aksiologi yaitu apakah aktivitas dari ilmu hukum tersebut taut nilai atau bebas nilai. Selain itu, dari dimensi aksiologis juga dapat dicari tanggung jawab ilmuwan hukum dari berbagai aliran tersebut terhadap perkembangan ilmunya terutama bagaimana seorang ilmuwan hukum sebaiknya dalam mengambil sikap.
1. Landasan aksiologis aliran hukum alam:
Aktivitas dalam aliran hukum alam merupakan aktivitas yang taut nilai. Ilmuwan hukum terikat dengan ajaran-ajaran keagamaan yang ditawarkan kepadanya dan hal tersebut cenderung mempengaruhi sikap seorang ilmuwan dalam menentukan hukum yang sesuai pada kondisi masyarakat di mana ilmuwan tersebut dapat memberikan pengaruhnya. Maka sikap seorang ilmuwan aliran hukum alam ini harus objektif akan tetapi ia tetap terikat oleh kepercayaan yang diyakininya.
2. Landasan aksiologis aliran positivisme hukum:
Ilmu hukum tidak dapat menerima netralitas nilai. Sebab, hukum adalah hasil karya cipta manusia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada kehidupan yang tertib dan tentram, yakni ketertiban yang adil. Tiap kaidah hukum positif adalah hasil penilaian manusia terhadap perilaku manusia yang berorientasi pada ketertiban yang adil itu dan karena itu bertumpu pada atau dijiwai oleh nilai-nilai. Dengan kata lain, ilmu hukum itu lebih-lebih tidak bebas nilai. Oleh karena hukum dalam aliran positivisme hukum tidak bebas nilai maka sikap seorang ilmuwan hukum yang menganut aliran ini seharusnya harus objektif dalam melihat setiap kasus hukum.
3. Landasan aksiologis aliran utilitarianisme:
Aktivitas aliran utilitarianisme merupakan aktivitas yang taut nilai sebab aliran utilitarianisme memiliki tujuan/keinginan untuk membuat masyarakat bahagia melalui hukum dengan menciptakan situasi keadilan. Oleh sebab itu, ilmuwan hukum aliran utilitarianisme seharusnya harus terlibat dalam pembuatan kebijakan atau perundang-undangan yang akan ditetapkan dalam masyarakat sehingga keinginan untuk mencapai keadilan dapat termaktub dalam kebijakan atau perundang-undangan tersebut.
4. Landasan aksiologis mazhab sejarah:
Dalam mazhab sejarah, pengaruh subjektivitas ilmuwan terasa pada pendekatannya dengan realita masyarakat karena pada mazhab sejarah peranan periodisasi waktu dianggap memiliki pengaruh terhadap adanya hukum. Maka, hubungannya dengan nilai merupakan aktivitas yang taut nilai. Untuk mendapatkan data tentang kebijakan hukum, sikap seorang ilmuwan yang menganut aliran ini harus terus mengamati dan memantau gejala-gejala yang ada dalam masyarakat sehingga kebijakan hukum yang dibuat terus berkembang sesuai realita.
5. Landasan aksiologis aliran sociological jurisprudence:
Dalam sociological jurisprudence terdapat suatu kepentingan yaitu hukum dijadikan pendekatan kepada masyarakat. Oleh karena itu hukum bersifat taut nilai dengan kesubjektifan ilmuwan hukum aliran ini yang melihat hukum sebagai lembaga kemasyarakatan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Sikap seorang ilmuwan hukum aliran ini hendaknya terlibat dalam masyarakat sekaligus terlibat dalam menentukan kebijakan karena dengan demikian fungsi hukum yang diharapkan oleh aliran ini yaitu sebagai sarana pemenuhan kebutuhan sosial dapat terwujud.
6. Landasan aksiologis aliran realisme hukum:
Aliran realisme hukum membentuk konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dengan mengandalkan kemampuan logika manusia dalam mencapai tujuan sosialnya yaitu keadilan sosial. Bagaimanapun mereka beranggapan bahwa hukum yang mewujudkan keadilan selalu cenderung mengalami perubahan. Karena penekanannya pada tujuan tersebut maka sifat dari aliran realisme hukum ini adalah taut nilai. Sikap seorang ilmuwan aliran realisme hukum haruslah melandaskan unsur logika sebagai faktor penting dalam pembentukan undang-undang agar hukum dapat bermakna logis pada realitanya.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dengan demikian filsafat dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam mengkaji persoalan fundamental dalam ilmu hukum. Ilmu hukum yang selama ini muncul dalam masyarakat sebagai paradigma kini dari paradigma tersebut dapat dibongkar asumsi-asumsinya dari kacamata filsafat.
Dari sudut pandang metafisika, rata-rata dalam setiap aliran memiliki asumsi bahwa hukum selalu berelasi dengan manusia dalam konteks menciptakan suasana keadilan. Keadilan sendiri merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam penciptaan hukum. Untuk membongkar realitas hukum, pandangan ilmuwan hukum terhadap hakekat realitas yang dalam konteks metafisika yaitu realitas manusia, Tuhan, alam, maupun hukum itu sendiri memiliki pengaruh besar dalam menjawab problem fundamental yang terdapat dalam ilmu hukum.
Epistemologi sebagai dimensi filosofis yang membahas sumber kebenaran, metode, dan validitas dari sebuah ilmu menjawab problem fundamental ilmu hukum dengan asumsi bahwa sumber kebenaran hukum merupakan titik tolak pencapaian hukum yang dapat digunakan untuk mengatur masyarakat agar tidak berada dalam situasi kacau. Beragam metode yang digunakan dalam penemuan kebenaran hukum ini merupakan metode yang kerap dipakai dalam praktek hukum. Soal keabsahan atau validitas ilmu hukum berbeda-beda sesuai dengan metode hukum yang dipakai oleh seorang ilmuwan hukum juga disesuaikan dengan aliran hukum yang dianutnya.
Kaitannya dengan perihal nilai, aksiologi memberikan dimensi tersendiri untuk menjawab persoalan fundamental hukum mengenai hubungan antara ilmu hukum dengan nilai (persoalan aktivitas ilmu hukum tersebut apakah taut nilai atau bebas nilai). Hubungan tersebut kebanyakan taut nilai kecuali aliran positivisme hukum yang bebas nilai karena terkait dengan objektivitas ilmuwan dalam menyusun konsepsi hukum. Selain mengkaji tentang hubungan ilmu hukum dengan nilai, dimensi aksiologis juga menjawab persoalan fundamental aksiologis lain yaitu bagaimana sikap atau tanggung jawab ilmuwan hukum terhadap aliran yang dianutnya. Dari masing-masing aliran tentu memiliki sikap serta tanggung jawab yang berbeda. Sikap dan tanggung jawab ini penting dipegang untuk melihat konsekuensi yang dialami oleh seorang ilmuwan hukum terhadap konsep hukum di mana ia terlibat dalam penentuannya.
2. Saran
Setelah penulis membuat kajian mengenai dimensi filosofis atas ilmu hukum ini maka penulis menyarankan sebaiknya yang dilakukan ilmu hukum adalah menyusun konsep hukum yang menjawab persoalan fundamental yang terjadi dalam hukum. Ilmu hukum tidaklah sekedar suatu disiplin ilmu yang bersifat normatif tetapi setidaknya para ilmuwan hukum memaknai hakekat hukum sebagai pembawa kedamaian dan kenyamanan dalam hidup bermasyarakat. Dengan pengetahuan dasar hukum yang kuat maka ilmu hukum akan dapat mengatur masyarakat tidak keluar dari jalur konsepsinya.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus Lorens, 1991. Metafisika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Dimyati, Khudzaifah. 2005. Teorisasi Hukum. Surakarta: Muhammadiyah University Press
Friedmann, W. 1990. Teori dan Filsafat Hukum. Jakarta: Rajawali
Huijbers, Theo. 1993. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius
Junaidy, Ronny. 2010. www.djpp.depkumham.go.id. Diakses tanggal 2 Februari 2010 pukul 00:16
Rasjidi, Lili. 1988. Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu?. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset
Wahyudi, Imam. 2007. Pengantar Epistemologi. Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM bekerja sama dengan penerbit Lima dan Faisal Foundation
Rabu, 29 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar