Rabu, 29 September 2010

EPISTEMOLOGI ILMU-ILMU KEMANUSIAAN DALAM PERSPEKTIF MICHEL FOUCAULT

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Ilmu-ilmu kemanusiaan merupakan ilmu yang dekat dengan manusia. Ilmu-ilmu kemanusiaan di sini berhubungan dengan ilmu yang dibuat oleh aliran positivisme sebagai suatu aliran besar yang memberikan standarisasi bagi ilmu untuk mendapatkan kebenaran. Hal tersebut disebabkan karena positivisme meyakini bahwa objektivitas itu ada. Penganut paham positivisme meyakini bahwa ilmu harus tersusun dengan konstruksi logis dan berdasarkan fakta yang jelas. Positivisme beranggapan pula bahwa pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris.
Ilmu-ilmu kemanusiaan menjadi tatanan pengetahuan tersendiri sebagai bentuk pengetahuan empiris yang bisa diterapkan pada manusia. Ilmu-ilmu kemanusiaan tidak mewarisi satu domain tertentu tetapi membiarkan tandus yang kemudian menjadi tugas mereka adalah mengelaborasi dengan metode positif dan dengan konsep yang paling tidak telah menjadi ilmiah.
Domain ilmu-ilmu kemanusiaan meliputi psikologi, sosiologi, juga ilmu budaya (termasuk ilmu bahasa). Dengan kata lain ilmu-ilmu tersebut terpengaruh oleh standar dari positivis dalam pembentukannya. Sementara ilmu sejarah merupakan induk dari semua ilmu tentang manusia.
Michel Foucault merupakan pemikir postmodernisme yang terpengaruh oleh nama besar Nietzche. Postmodernisme merupakan aliran yang menandai perubahan sosial di abad kontemporer. Pemikir-pemikir pada aliran tersebut cenderung untuk bersikap medekonstruksi masalah dalam upaya mencapai kepastian. Dekonstruksi dalam aliran postmodernisme bermaksud mengungkap makna tetapi dengan tidak mengabaikan hal-hal yang belum lengkap. Foucault memiliki pandangan mengenai episteme. Pandangan Foucault mengenai tidak ada sesuatu di dunia ini yang mutlak melainkan yang ada adalah hal yang relatif menimbulkan semangat dekonstruksi bagi ilmu. Kebenaran yang mutlak tidak mungkin tercapai karena adanya konstruksi pemikiran yang terus mengalami perubahan. Episteme Foucault sendiri memiliki arti khusus yaitu pengandaian-pengandaian tertentu, prinsip-prinsip tertentu, syarat-syarat kemungkinan tertentu, cara-cara pendekatan tertentu, dan juga episteme itu adalah sistem.
Foucault melakukan kritik terhadap tatanan pengetahuan terutama kritik terhadap positivisme yang mendewakan kemapanan pengetahuan. Ia sangat menjiwai ilmu yang terkait dengan manusia karena bagi Foucault tidak ada sesuatu yang objektif, segala sesuatu itu subjektif, segala sesuatu memiliki ruang cipta baik sadar atau tidak.
Di dalam buku yang ia tulis yaitu order of thing, ia ingin memaparkan arkeologi ilmu-ilmu kemanusiaan bahwa pengetahuan manusia tidak lagi mengambil bentuk dalam masa pencarian kita akan kesamaan dan kemiripan tetapi lebih pada permukaan dan kedalaman yang dibangkitkan kembali pada kesadaran ‘keheningan’ tak bernama yang mendasari dan memungkinkan bentuk-bentuk semua diskursus, bahkan dari ‘ilmu pengetahuan’ itu sendiri.
Dengan acuan dari karya Michel Foucault order of thing, penulis ingin mengkaji dimensi epistemologis yang terkandung dalam ilmu-ilmu kemanusiaan yang sekilas telah dibahas di atas. Dimensi epistemologis tersebut terkait dengan metode, aspek kebenaran, dan validitas dari ilmu-ilmu kemanusiaan yang digunakan oleh Michel Foucault. Sekaligus penulis ingin mencari tahu mengapa Foucault gencar mengkritik positivisme dan bagaimana konsep pemikiran Foucault terhadap perkembangan ilmu terutama ilmu yang sangat diminatinya yaitu ilmu-ilmu kemanusiaan.

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah dimensi epistemologis yang terkandung dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dalam perspektif Michel Foucault sekaligus bagaimana konsep pemikiran Michel Foucault terhadap perkembangan ilmu?


BAB II
PEMBAHASAN

1. Ilmu-Ilmu Kemanusiaan

Di dalam karyanya Order of Thing, Michel Foucault membahas ilmu-ilmu kemanusiaan sebagai berikut :
Mode of being manusia sebagaimana yang terdapat dalam pemikiran modern memungkinkan manusia untuk memainkan dua peranan: pada saat yang sama manusia berada pada landasan kepastian dan keberadaan, dalam satu jalan yang tidak bisa dianggap istimewa, dalam elemen hal-hal empiris. Kenyataan ini bukanlah menjadi persoalan di sini tentang esensi manusia secara umum tetapi semata-mata a priori historis yang sejak abad ke-19 telah bertindak sebagai landasan self-evident untuk pemikiran kita. Tidak diragukan lagi, fakta sangat menentukan persoalan status yang didasarkan pada ‘ilmu-ilmu kemanusiaan’, pada inti pengetahuan sebagai objeknya, mengambil manusia sebagai entitas empiris.
Ilmu-ilmu kemanusiaan bukanlah analisis tentang apakah manusia itu menurut hakikatnya tetapi sebuah analisis yang terbentang dari apakah manusia itu dalam positivitasnya (makhluk yang hidup, berbicara, dan memiliki tenaga) hingga apakah yang memungkinkan wujud yang sama ini untuk mengetahui (atau berusaha untuk mengetahui) apakah kehidupan itu, dalam hal apa esensi tenaga kerja dan hukumnya termuat. Dengan demikian, ilmu-ilmu kemanusiaan menempati jarak yang memisahkan (meskipun bukan tanpa berhubungan dengan mereka) biologi, ekonomi, dan filologi dari hal-hal yang memberikan kemungkinan pada mereka dalam wujud manusia. Karena itu, bisa jadi salah untuk melihat ilmu-ilmu kemanusiaan sebagai perluasan mekanisme biologi, yang diinteriosasikan dalam spesies manusia, dalam organismenya yang kompleks, dalam perilaku dan kesadarannya; dan tak kurang salahnya menempatkan ilmu ekonomi atau ilmu bahasa (yang memiliki kemampuan untuk mereduksi ilmu-ilmu kemanusiaan yang diekspresikan dalam usaha untuk membentuk ekonomi yang murni dan bahasa yang murni) di dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.
Kenyataannya, ilmu-ilmu kemanusiaan dalam ilmu-ilmu ini tidak lebih dari sekedar bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan ini memberikan interioritas kepada mereka melalui pembelokkan mereka menuju subjektivitas manusia. Ilmu-ilmu kemanusiaan berkembang dalam eksterioritas pengetahuan. Inilah apa yang mengkarakterisasikan ilmu-ilmu kemanusiaan bukanlah bahwa mereka diarahkan pada kandungan-kandungan tertentu (objek tunggal dan manusia); ia adalah karakteristik formal yang lebih murni: fakta sederhana bahwa dalam hubungannya dengan ilmu di mana manusia diberikan sebagai objek (khususnya dalam kasus ekonomi dan ilmu bahasa, atau parsial dalam kasus biologi), mereka berada pada posisi duplikasi.
Posisi ini bisa dipahami sebagai dua level: ilmu-ilmu kemanusiaan tidak memperlakukan kehidupan, tenaga, dan bahasa manusia dalam keadaan yang paling transparan di mana mereka bisa ditempatkan, tetapi dalam strata tindakan, perilaku, sikap, isyarat yang telah diciptakan, dll; pada level yang lain, selalu mungkin memperlakukan dalam gaya ilmu-ilmu kemanusiaan (psikologi, sosiologi, dan sejarah kebudayaan, gagasan atau ilmu) fakta bahwa bagi individu atau masyarakat tertentu ada sesuatu yang menyerupai pengetahuan spekulatif tentang kehidupan, produksi, dan bahasa.

2. Michel Foucault

a. Riwayat Singkat

Michel Foucault tidak pernah mengisahkan riwayat hidupnya bahkan selalu ia agak enggan untuk menyampaikan data-data biografis tentang dirinya. Hal itu tidak terlepas dari corak pemikirannya.
Michel Foucault lahir di Poiters, Perancis pada tahun 1926. Ia berasal dari kalangan medis, ayahnya seorang ahli bedah, seperti juga saudara dan kakeknya. Orang tua Foucault mengharap anaknya mengikuti jejak yang sama, tetapi ia “membangkang” dan memilih belajar filsafat, sejarah dan psikologi. Sikap ini mengisyaratkan bahwa sejak lama Foucault memang tidak menyukai sesuatu yang mapan. Ia menempuh masa studinya di Ecole normalle superiure pada 1945 dan mendapat license pada bidang filsafat (1948), psikologi (1950) dan psikopatologi (1952).
Foucault paling dikenal dengan penelitian tajamnya dalam bidang institusi sosial, terutama psikiatri, kedokteran, ilmu-ilmu kemanusiaan dan sistem penjara, dan karya-karyanya tentang sejarah seksualitas. Karyanya yang menelaah kekuasaan dan hubungan antara kekuasaan, pengetahuan dan "diskursus" telah banyak diperdebatkan secara luas. Pada tahun 60-an Foucault sering diasosiasikan dengan gerakan strukturalis. Foucault kemudian menjauhkan dirinya dari gerakan pemikiran ini. Meski sering dikarekterisasikan sebagai seorang posmodernis, Foucault selalu menolak label post-strukturalis dan postmodernis.
Karya-karya tulisannya antara lain Madness and Civilization, The Birth of the Clinic, Death and The Labyrinth, Order of Thing, The Archaeology of Knowledge, Discipline and Punish, dan The History of Sexuality.
Disarikan dari buku karya Misnal Munir, Foucault membagi jaman berdasarkan episteme. Episteme dalam filsafat Foucault memiliki arti khusus yaitu suatu pengandaian-pengandaian tertentu, prinsip-prinsip tertentu, syarat-syarat kemungkinan tertentu, cara-cara pendekatan tertentu, dengan demikian episteme adalah sistem.
Foucault membagi episteme atau sistem pemikiran dalam tiga jaman berdasar struktur-struktur yang ada pada waktu itu :
- Abad ke-16 (Renaissance), contoh episteme pada jaman ini adalah resemblance atau kemiripan (wajah manusia menyerupai bulan, dll).
- Abad ke-17 dan 18 (Klasik)
Pada jaman ini terjadi diskontinuitas dalam episteme atau sistem pemikiran. Kata kunci episteme jaman ini adalah representation (penghadiran/pembayangan).
- Abad ke-19 dan 20 (Post Klasik/Modern)
Episteme pada zaman ini juga mengalami diskontinuitas. Kata kunci untuk menerangkan jaman ini adalah signification.
Dalam episteme jaman modern, manusia hadir sebagai subjek yang mengetahui sekaligus sebagai objek yang diketahui yaitu manusia dilihat sebagai makhluk yang berbicara, hidup, dan bekerja; manusia ditentukan oleh hukum-hukum bahasa, struktur organis biologis, dan hukum-hukum produksi; manusia sebagai sosok utuh yang dibahas dalam berbagai pengetahuan dan diskursus; serta manusia kehilangan kedudukannya sebagai kategori utama pengetahuan, yaitu hilangnya konsep manusia sebagai suatu kategori istimewa.

b. Corak Pemikiran

Michel Foucault merupakan salah satu filsuf postmodernisme (walaupun ia sangat enggan disebut postmodernis) karena ia memiliki corak mendekonstruksi persoalan yang terjadi di dunia. Yang mencolok dalam hubungannya dengan Foucault adalah persoalan mengenai dunia sastra dan persoalan linguistik serta sejarah.
Seperti yang dijelaskan oleh Bambang Sugiharto bahwa dekonstruksi cenderung hendak mengatasi gambaran dunia (worldview) modern melalui gagasan yang anti gambaran dunia sama sekali. Mereka mendekonstruksi atau membongkar segala unsur yang penting dalam sebuah gambaran dunia seperti: diri, Tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, dst. Awalnya strategi dekonstruksi ini dimaksudkan untuk mencegah kecenderungan totaliterisme pada segala sistem, namun akhirnya cenderung jatuh ke dalam relativisme dan nihilisme. Dapat dikatakan, bahwa mereka ini menarik segala premis modern dan membenturkannya pada konsekuensi logis paling ekstremnya.
Foucault berangkat dari titik pandang strukturalisme untuk mengkritik konsep Kantian tentang “subjek” beserta segala bangunan ide yang didasarkan pada Kant. Namun tugas “arkeologis” untuk menganalisa logika intern suatu wacana yang otonom akhirnya diserap dalam proyek “genealogis” yang mengincar sejarah objektivikasi objektivitas. Cara kerja Foucault ialah misalnya melalui analisis historis atas gagasan-gagasan dasar yang telah membentuk kita sebagai subjek maupun objek pengetahuan. Dengan cara ini Foucault mau mempersoalkan segala hal yang biasanya dianggap normal, rasional, universal, mutlak, dan gamblang dengan sendirinya atau eviden. Ini terutama dilacak dengan melihat hubungan-hubungan kekuasaan dalam sejarah.
Sementara itu tulisan Foucault terbuka dan jelas terhadap beragam diskursus yang dalam hal ini Foucault lebih membahas dalam dimensi diskursus kekuasaan. Ia sangat gamblang dalam membongkar ruang yang selama ini tertutup dan tidak takut mempopulerkan bahasa-bahasa yang mungkin sedikit vulgar untuk dibahas.
Dalam rangka menyelidiki beragam diskursus, Foucault menggunakan tiga konsep yaitu positivitas, apriori historis, dan arsip. Positivitas suatu diskursus atau ilmu adalah suatu “lingkup komunikasi” antara pengarang-pengarang atau ilmuwan-ilmuwan. Apa yang memungkinkan suatu positivitas oleh Foucault disebut apriori historis. Dengan itu dimaksudkan keseluruhan syarat-syarat atau aturan-aturan yang menentukan suatu diskursus. Akhirnya, arsip adalah sistem pernyataan yang dihasilkan oleh berbagai positivitas sesuai dengan apriori historis masing-masing. Foucault mengatakan juga arsip adalah sistem pembentukan dan transformasi pernyataan-pernyataan.

3. Kajian Foucault terhadap Dimensi Epistemologis dalam Ilmu-Ilmu Kemanusiaan

Pada dasarnya, dimensi epistemologis berbicara mengenai kebenaran, metode, dan validitas yang dalam hal ini berbicara mengenai kebenaran, metode, dan validitas dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.
Ilmu-ilmu kemanusiaan diistilahkan Foucault dalam karyanya Order of Thing. Dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, manusia dijadikan sebagai objek di mana ‘ilmu-ilmu tentang manusia’ tersebut menjadi bagian dari episteme modern sama seperti kimia atau kedokteran atau sejumlah ilmu lainnya. Tetapi Foucault beranggapan bahwa ilmu itu sebenarnya tidak bermakna.
Adapun metode yang digunakan Foucault dalam membongkar persoalan pengetahuan adalah metode arkeologi dan metode geneanologi. Metode arkeologi merupakan pendekatan yang Foucault lakukan hingga 1970. Ia mendefinisikan arkeologi sebagai eksplorasi sejumlah kondisi historis nyata dan spesifik dimana berbagai pernyataan dikombinasikan dan diatur untuk membentuk atau mendefinisikan suatu bidang pengetahuan/obyek yang terpisah serta mensyaratkan adanya seperangkat konsep tertentu dan menghapus batas rezim kedalaman tertentu.
Sementara metode geneanologi digunakan Foucault yang dikembangkan dalam Surveiller et punir, tentu saja mengingatkan kita kepada konsep geneanologi Nietszche dalam “The Birth of Tragedy and Geneanology Morals”. Nietszche mendefinisikan geneanologi sebagai antitesis kecenderungan pencarian asal-usul yang bersifat alpha-omega, dengan kata lain Nietszche menolak objektivitas dan monopoli versi kebenaran. Pendefinisian Nietsche tersebut, kemudian diambil alih oleh Foucault untuk menunjukkan relasi kontinuitas-diskontinuitas dalam sebuah diskursus. Jadi dalam hal ini, geneanologi mengambil bentuk berupa pencarian kontinuitas dan diskontinuitas dari diskursus. Geneanologi tidak mencari asal-usul, melainkan menelusuri awal dari pembentukan diskursus yang dapat terjadi kapan saja. Foucault dalam kerangka metodelogis ini, tidak menggunakan verstehen (pemahaman) melainkan destruksi dan pembongkaran hubungan-hubungan historis yang disangka ada antara sejarawan dengan objeknya. Jika dalam arkeologi, proyek metodelogi diarahkan untuk menggali situs lokal praktik diskursif, maka geneanologi beranjak lebih jauh yaitu untuk menelaah bagaimana diskursus berkembang dan dimainkan dalam kondisi historis yang spesifik dan tak dapat direduksi melalui operasi kekuasaan.
Kritik Foucault terhadap pengetahuan yaitu pengetahuan haruslah bersifat subjektif. Untuk hal ini ia menolak anggapan positivisme bahwa pengetahuan dan ilmu haruslah objektif. Alasan Foucault mengkritik positivisme karena segala sesuatu itu memiliki ruang tersendiri baik secara sadar maupun tidak pada saat terbentuknya suatu pengetahuan. Aspek subjektivitas ini berpengaruh pada konsep pemikiran manusia terhadap perkembangan ilmu di mana manusia memiliki kuasa untuk mengambil sikap terhadap diterima atau ditolaknya suatu ilmu. Dengan ilmu yang berkembang secara diskontinuitas, Foucault meyakini bahwa setidak-tidaknya perkembangan ilmu membebaskan peranan manusia dalam menentukan perspektifnya terhadap suatu konsep pengetahuan.
Kebenaran merupakan hasil produksi kekuasaan yang subjektif, karena melibatkan relasional pengetahuan sehingga bersifat disiplin. Foucault juga bermaksud menunjukkan hubungan antara ilmu-ilmu kemanusiaan dengan teknologi dominasi.
Mengenai validitas pengetahuan sebagai ilmu, Foucault dengan tegas menolak epistemologi modern yang telah menghasilkan berbagai pandangan tentang kebenaran. Menurutnya kebenaran itu adalah urusan duniawi: diproduksi hanya melalui segala bentuk pengekangan. Dengan kata lain kebenaran adalah produk kekuasaan. Maka dari itu, setiap masyarakat memiliki rezim kebenarannya sendiri, memiliki semacam politik kebenaran.
Dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu tersebut akan menghilang seiring berjalannya waktu saat timbul suatu pemikiran lain. Foucault sangat mementingkan diskontinuitas dalam sejarah. Dengan kata lain, pengetahuan berkembang berkaitan dengan periode yang saling berkaitan satu sama lain, periode sekarang tidak dapat lepas dari periode sebelumnya.
Karya Foucault sejak Order of Thing dapat digunakan untuk penegasan wawasan di mana Foucault berkata manusia tidak mampu menggambarkan dirinya sendiri sebagai suatu konfigurasi dalam episteme tanpa pemikiran di saat yang sama menemukan baik dalam dirinya sendiri dan di luar dirinya sendiri, dalam batas-batasnya sejauh ini, juga pada ketidaklurusan suatu unsur kegelapan, suatu kedalaman yang tampak jelas di mana ia ditanamkan, sesuatu di luar pemikiran yang dikandung seluruhnya masih di tempat juga ditangkap.








BAB III
KESIMPULAN

Michel Foucault yang tergolong filsuf postmodern merupakan filsuf yang mengkritik susunan pengetahuan dan ia menolak kemapanan ilmu. Baginya, ilmu selalu mengalami kondisi diskontinuitas di mana ilmu selalu berkembang secara berkelanjutan. Adanya ilmu yang sekarang tidak dapat terlepas dari ilmu yang berkembang sebelumnya.
Diskontinuitas tersebut terjadi dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Ilmu-ilmu kemanusiaan di sini berhubungan dengan ilmu-ilmu yang dibuat oleh manusia. Foucault menganggap ini sebagai diskursus tentang kemanusiaan. Berkaitan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan, salah satu karyanya yaitu Order of Thing menampilkan diskursus mengenai ilmu-ilmu kemanusiaan tersebut dalam bentuk wacana penggunaan dan penyalahgunaan otoritas pengetahuan manusia.
Epistemologi sebagai salah satu dimensi filsafat yang berusaha menyingkap kebenaran pengetahuan sebagai dasar penyusun ilmu mengkaji ilmu-ilmu kemanusiaan Foucault tersebut sebagai bentuk kritik atas positivisme yang mengandalkan kemapanan ilmu sebagai sesuatu yang benar dan pasti keabsahannya. Maka secara tidak langsung, positivisme menekankan pada aspek logis dan objektif. Sementara Foucault menolak gagasan ini karena ia beranggapan bahwa terbentuknya ilmu berdasarkan aspek subjektivitas manusia. Melalui subjektivitas manusia, ia bebas untuk menentukan sekaligus mengambil sikap terhadap ilmu. Oleh karena itu, ilmu-ilmu kemanusiaan merupakan ilmu yang dibuat manusia untuk selalu berkembang bukan untuk dibuat mapan dan berlaku seterusnya.
Berdasarkan argumen tersebut, penulis merasa bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan yang dimaksud Foucault memiliki hubungan dengan ilmu sosial dan humaniora termasuk di dalamnya psikologi, sosiologi, dan ilmu budaya yang terbentuk oleh budaya positivisme. Ilmu-ilmu tersebut setidak-tidaknya membongkar kembali dimensi epistemologinya agar kebenaran yang ada tidak semata-mata benar secara mutlak namun ada diskontinuitasnya. Dari sini pula Foucault dapat dikatakan mendekonstruksi struktur pengetahuan agar ilmu benar-benar matang secara konsep.

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Utama:

Bertens, K. 1996. Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia

Foucault, Michel. 2007. Order of Thing Arkeologi Ilmu-Ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Munir, Misnal. 2008. Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer. Yogyakarta: Lima

Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius

Referensi Internet:

Maulidiansyah, Roli. Kritik Foucault terhadap Positivisme: Pembacaan Arkeologis dan Geneanologis atas Rezim Kuasa. http://roliandalas.blogspot.com/2008/10/kritik-foucault-terhadap-positivisme.html. diakses tanggal 13 Oktober 2008

Forumkami. Biodata Michel Foucault. http://www.forumkami.com/forum/pendidikan/28840-biodata-michel-foucault.html. diakses tanggal 14 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar