Rabu, 29 September 2010

Garebeg Yogyakarta sebagai Sarana Komunikasi Budaya

Suatu upacara kerajaan yang telah diselenggarakan selama berabad-abad dan hingga masa kini masih dilestarikan oleh Keraton Kesultanan Yogyakarta adalah Garebeg. Garebeg mengandung makna mengiring raja, pembesar, atau pengantin. Tujuan dari upacara adat ini adalah agar Tuhan memberikan perlindungan, keselamatan kepada raja, kerajaan serta rakyatnya.
Upacara garebeg diadakan tiga kali dalam setahun, pada tanggal-tanggal yang berkaitan dengan hari besar agama Islam, yaitu garebeg Syawal, garebeg Maulud, dan garebeg Besar. Garebeg Syawal dilaksanakan sebagai bentuk ungkapan syukur dari keraton setelah melampaui bulan puasa, dan sekaligus untuk menyambut datangnya bulan Syawal. Garebeg Maulud diadakan untuk merayakan dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan garebeg Besar diselenggarakan untuk merayakan Idul Adha yang terjadi dalam bulan Zulhijah, yang dalam kalender Jawa sering disebut sebagai bulan besar.
Terdapat unsur komunikasi sebagai bentuk pertukaran informasi antar manusia dalam penyelenggaraan upacara garebeg ini. Dengan adanya upacara garebeg, masyarakat kota Yogyakarta dapat merasakan hubungan antara rakyat dengan petinggi keraton. Selain itu mencerminkan pula hubungan religius dengan Tuhan. Upacara garebeg mengharapkan agar Tuhan senantiasa memberikan perlindungan bagi rakyat dan kota Yogyakarta juga keselamatan pada raja. Hal tersebut merupakan wujud komunikasi yang mencerminkan konsistensi sikap religius. Selain konsistensi sikap religius terdapat pula wujud komunikasi sebagai pencerminan dari sikap kultural sehingga kesadaran masyarakat akan kebudayaannya tercipta dan membentuk identitas kebudayaan yang mencerminkan integritas.
Dari uraian tersebut di atas maka konsep komunikasi dalam pengertian paradigmatis atau sebagai suatu kegiatan yang khas, bukan hanya sekedar sebagai konsekuensi dari hubungan sosial tetapi ada suatu tujuan di dalamnya. Berbeda dengan komunikasi dalam pengertian etimologis dan terminologis, komunikasi dalam pengertian paradigmatis bersifat intensional, di mana efek atau dampak yang timbul pada sasaran komunikasi merupakan akibat dari tujuan komunikasi yang dilancarkan dalam prosesnya melibatkan semua komponen.
Dari konsep paradigmatis komunikasi tersebut maka upacara garebeg yang memiliki cerminan komunikasi religius dan budaya mempunyai suatu tujuan yaitu ingin mengungkapkan perpaduan sikap religius dan sikap budaya dengan kesadaran terhadap identitas masyarakat Yogyakarta. Hal inilah yang merupakan wujud dari konsep paradigmatis komunikasi di mana dalam konsep ini penting ditekankan tujuan dari diselenggarakannya suatu komunikasi.
Unsur komunikasi yang terkandung dalam upacara garebeg ini memiliki beberapa dampak dari segi sejarah, segi pembinaan generasi muda, dan dari segi kepariwisataan. Seperti kutipan dari B. Soelarto bahwa:
- Dari segi sejarah, garebeg erat sekali kaitannya dengan sejarah perkembangan, kehidupan beragama di tanah air juga erat kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan Jawa Islam.
- Dari segi pembinaan generasi muda untuk lebih akrab mengenali, menghayati berbagai bentuk ungkapan budaya nusantara yang beraneka ragam coraknya itu, pengenalan lebih dekat terhadap garebeg sebagai salah satu bentuk budaya daerah yang kelestarian hidupnya didukung oleh jutaan anggota masyarakat dari seluruh lapisan, kiranya adalah sangat perlu.
- Dari segi kepariwisataan, akan membantu dalam memberikan gambaran menyeluruh yang mendekati keutuhan mengenai garebeg di Kesultanan Yogyakarta, yang setiap tahun diselenggarakan tiga kali ini dengan daya tarik istimewa tanpa pernah membosankan. Apalagi jika diingat bahwa Yogyakarta adalah daerah tujuan wisata ketiga di Indonesia sesudah Bali dan Jakarta.
Dari pendekatan yang diungkapkan oleh Soelarto tersebut maka jelas terlihat adanya unsur komunikasi dalam garebeg walaupun terlihat secara tidak langsung. Dari berbagai segi entah itu dari segi sejarah, pembinaan, ataupun pariwisata terkandung komunikasi sebagai sarana dalam menciptakan informasi. Dengan adanya komunikasi maka informasi garebeg dapat tersampaikan dan meluas hingga seluruh Indonesia. Apalagi dalam garebeg terkandung makna religiusitas dan budaya yang begitu kental yang dapat dijadikan daya tarik tersendiri dan kekhasan masyarakat Yogyakarta.
Aspek komunikasi informatif juga menjadi bagian dalam upacara garebeg di mana komunikasi informatif merupakan komunikasi sebagai wujud penyampaian informasi atau pemberitahuan oleh seseorang kepada orang lain atau kepada masyarakat. Dalam upacara garebeg ini aspek komunikasi informatif sangat terasa di waktu upacara garebeg dilaksanakan saat Syawal, Maulud, ataupun Idul Adha. Masyarakat Yogyakarta seperti diberikan informasi bahwa kota Yogyakarta akan mengadakan suatu perhelatan besar serta membutuhkan keterlibatan seluruh lapisan masyarakat Yogyakarta.
Sebagai kesimpulan, budaya kearifan lokal tidak dapat dipisahkan dari unsur komunikasi. Bagaimanapun dalam kehidupan masyarakat komunikasi tercipta sebagai sarana berinteraksi dan menciptakan budaya yang ideal.


Referensi:
Effendi, Onong Uchjana. 1992. Spektrum Komunikasi. Bandung: Mandar Maju
Soelarto. B. 1993. Garebeg di Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius
Christy, Des. 10 Juni 2010. http://www.jogjatrip.com/id/144/upacara-adat-garebeg-keraton-yogyakarta

FILOSOFI ILMU HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Sebagai salah satu bagian dari ilmu sosial, ilmu hukum berperanan penting dalam kehidupan manusia. Hukum yang selama ini kita kenal memiliki memiliki karakter normatif yang berdampak untuk mengatur masyarakat agar tercipta suasana keadilan. Ilmu hukum sebagai suatu disiplin pengetahuan akan hukum telah banyak dibahas oleh kebanyakan ilmuwan hukum. Pada dasarnya mereka mencari aspek praktis hukum sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Akan tetapi mereka belum menyentuh akar-akar permasalahan dibentuknya suatu hukum.
Filsafat sebagai suatu disiplin yang bertugas membongkar hakekat persoalan dapat membantu tugas ilmuwan hukum untuk membongkar problem fundamental dalam ilmu hukum yang mungkin selama ini belum sempat terpikirkan oleh para ilmuwan hukum dalam disiplin ilmu mereka.
Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk membongkar problem fundamental ilmu hukum tersebut dengan menggunakan beberapa dimensi kefilsafatan yaitu dimensi metafisik, dimensi epistemologis, dan dimensi aksiologis. Dimensi tersebut digunakan penulis untuk mempermudah mengungkap apa sebenarnya yang terjadi di dalam ilmu hukum sehingga baik masyarakat ilmiah maupun masyarakat awam dapat merasakan unsur-unsur filosofis dalam ilmu hukum sekaligus merasakan akar-akar persoalan yang selama ini terdapat dalam ilmu hukum.

2. Rumusan Masalah

1. Apa saja aliran-aliran hukum yang populer di dunia?
2. Bagaimana dimensi metafisik, dimensi epistemologis, dan dimensi aksiologis yang terdapat dalam ilmu hukum?


BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Perkembangan Ilmu Hukum

Untuk dapat mengetahui aliran-aliran hukum yang selama ini populer berkembang di dunia, ada baiknya untuk terlebih dahulu menelusuri sejarah perkembangan ilmu hukum agar dapat diketahui secara pasti bagaimana awal dan berkembangnya ilmu hukum yang selama ini ada dalam masyarakat.
Sejauh penelusuran penulis, ilmu hukum berkembang selama 6 zaman yaitu zaman purba, Yunani Kuno, pertengahan, renaissance, modern, dan kontemporer.

a. Zaman Purba (abad 15-7SM)

Dalam Kekaisaran Babilonia tepatnya di Mesopotamia terdapat hukum Hammurabi (hukum pertama yang tercatat di dunia dan dapat dianggap sebagai pendahulu dari sistem hukum resmi seperti yang saat ini berlaku pada masyarakat modern). Hukum tersebut memandang alam sebagai pelindung keadilan. Hammurabi mempercayai Dewa Matahari yaitu Dewa Shamash sebagai sang pemberi hukum dan dewa pelindung keadilan bagi rakyat Babilonia.
Hukum dalam Kerajaan Mesir kuno tidak kalah kuatnya dengan hukum Kekaisaran Babilonia. Hukum Mesir kuno memandang Dewi Maat sebagai dewi yang mengatur kebenaran, keseimbangan, keteraturan, hukum, moralitas,dan keadilan.
Manusia dalam hukum India kuno telah mengenal ketentuan yang mengatur perjanjian (treatis), hak dan kewajiban raja, perbedaan antara kombatan dan non kombatan, serta ketentuan terhadap tawanan perang dan cara-cara berperang.
Dalam Hukum Cina kuno terdapat 16 jenis hukuman sadis yang pada masa ini sangat menyiksa orang yang melakukan tindakan kriminal.

b. Zaman Yunani Kuno (abad 7SM-6M)

Masalah hubungan antara keadilan dan hukum positif menjadi pusat perhatian para ahli pikir Yunani. Pada masa-masa sebelumnya, para pemikir alam dari Milesia beranggapan bahwa sebagai sumber hukum, alam bebas lebih kekal dari undang-undang buatan manusia.
Merosotnya demokrasi di Athena, dalam perang Peloponesus dan sesudahnya, menjadi bahan perenungan tentang keadilan yang mendominasi pemikiran Plato dan Aristoteles mengenai hukum.
Plato berusaha mendapatkan konsep keadilan dari ilham sementara Aristoteles mengembangkannya dari analisis ilmiah atas prinsip-prinsip rasional dengan setting model-model masyarakat politik dan undang-undang yang telah ada.
Pada zaman ini rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai suatu penjelmaan dari rasio Tuhan. Rasio manusia terlepas dari ketertiban Ketuhanan. Dan rasio manusia yang berdiri sendiri ini merupakan sumber satu-satunya dari hukum. Unsur logika manusia merupakan unsur penting dalam pembentukan hukum.

c. Zaman Pertengahan (abad 6-15M)

Selama abad pertengahan, dunia Barat dikuasai oleh satu sistem feodal yang berpuncak pada kaisar sedangkan kehidupan gereja berpuncak pada Paus sebagai Kepala Gereja Katolik Roma.
Ilmu hukum berkembang dari abad kedua belas hingga permulaan abad keempat belas dan mencapai puncaknya dalam sistem skolastik St. Thomas Aquinas dengan beberapa pertimbangan :
1. Masyarakat politik dan negara tidak lagi dianggap sebagai lembaga dosa. Sebaliknya, keduanya menjadi wadah dari tujuan moral dan sarana dalam merealisasikan keadilan dan kebajikan.
2. Penegasan terhadap hukum sebagai prinsip tertinggi dari masyarakat abad pertengahan.
3. Penafsiran sifat kewenangan dari hukum tertinggi.
4. Timbulnya persoalan mengenai sumber kekuasaan hukum dalam masyarakat sipil.
Sistem Thomas Aquinas berkeyakinan bahwa akal budi manusia cukup berdaya untuk mencapai kebenaran hidup. Tuhan melebihi pengetahuan manusiawi, hal ini mengakibatkan bahwa tidak ada artinya berbicara mengenai suatu hukum abadi dalam Tuhan sebagai dasar hukum alam.

d. Zaman Renaissance (abad 15-17M)

Penekanan pada abad ini adalah ilmu hukum tidak terikat lagi oleh gereja dan raja. Ilmu hukum cenderung beralih pada hukum alam.
Akibat perang salib dan ditemukannya benua-benua baru telah membantu menghancurkan landasan perekonomian pada tatanan abad pertengahan dan meletakkan dasar bagi ekspansi perdagangan. Perubahan-perubahan ini membawa serta pada problema-problema dan dalil-dalil hukum baru.
Tokoh sentral perkembangan ilmu hukum pada masa ini adalah Hugo Gratius. Menurutnya, sifat manusia yang khas adalah keinginannya untuk bermasyarakat, untuk hidup tenang bersama kawan-kawan, dan ini sesuai dengan watak inteleknya. Prinsip-prinsip hukum alam berasal dari sifat intelek manusia yang menginginkan suatu masyarakat yang penuh damai dan prinsip-prinsip itu terlepas dari perintah Tuhan.

e. Zaman Modern (abad 17-19M)

Akibat konstruksi negara modern, dituntut pula pengorganisasian sistem hukum sebagai susunan hirarkis dari kekuasaan yang sah.
Pada prinsipnya pemisahan hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada adalah asumsi filosofis fundamental dari positivisme hukum. Dengan menyisihkan nilai-nilai yang mendasari sistem hukum yang pada hakikatnya tidak relevan dengan ilmu hukum analitis, positivisme analitis dapat mencurahkan perhatiannya pada susunan sistem hukum yang “positif”. Ini menyebabkan kaum positivis menguraikan secara terinci susunan hukum dalam negara modern, dari “perintah yang berdaulatnya” Austin ke dalam hirarki Kelsen mengenai norma-norma yang diambil dari norma dasar yang hipotetis.
Hart membedakan lima arti dari positivisme dalam ilmu hukum kontemporer, yaitu:
1. Anggapan bahwa undang-undang adalah perintah-perintah manusia.
2. Anggapan bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum yang ada dan seharusnya ada.
3. Anggapan bahwa analisis (atau studi tentang arti) dari konsepsi-konsepsi hukum: layak dilanjutkan, harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab atau usul dari undang-undang dari penelitian-penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan kritik atau penghargaan hukum apakah dalam arti moral, tuntutan-tuntutan sosial, “fungsi-fungsinya”, atau sebaliknya.
4. Anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu “sistem logis tertutup” di mana putusan-putusan hukum yang tepat dapat dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan, norma-norma moral.
5. Anggapan bahwa penilaian-penilaian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan, seperti halnya dengan pernyataan-pernyataan tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk, atau bukti.

Tokoh yang berpengaruh pada abad ini adalah John Austin. John Austin mempertahankan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Tugas ilmu hukum hanyalah untuk menganalisis unsur-unsur yang nyata ada dari sistem hukum modern. Hukum menurut Austin, dibagi dalam hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk manusia (hukum manusia) dan undang-undang yang diadakan oleh manusia untuk manusia (hukum manusia).

f. Zaman Kontemporer (abad 20-sekarang)

Pada abad ke-duapuluh, studi hukum banyak mengalami perubahan dari ranah dasarnya sebagai suatu ilmu, hal itu terjadi dengan kemunculan aliran socilogical jurisprudensi yang dipelopori oleh Roscoe Pound (1911). Pound mengajukan gagasan tentang suatu studi hukum yang juga memperhatikan efek sosial dari bekerjanya hukum. Studi tentang hukum tidak bisa dibatasi hanya tentang studi logis terhadap peraturan hukum penerapannya, melainkan juga akibat yang timbul terhadap masyarakat.
Ilmu hukum pada zaman kontemporer ditandai dengan munculnya teori hukum murni. Teori hukum murni merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yakni yang hanya mengembangkan hukum itu sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter. Teori ini lazim dikaitkan pada mazhab Wina dengan tokoh Hans Kelsen.
Ilmu hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen, dan hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai nilai”. Ia pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu hukum murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis dengan tegas.

Dari sedikit penjelasan mengenai sejarah perkembangan ilmu hukum di atas kita dapat mengambil setidak-tidaknya ada 6 aliran besar yang populer dianut oleh ilmuwan hukum dunia. Aliran tersebut antara lain aliran hukum alam, aliran positivisme hukum, aliran utlitarianisme, mazhab sejarah, aliran sociological jurisprudence, dan aliran realisme hukum.

Penjabaran singkat aliran hukum tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Aliran Hukum Alam
-Yang dimaksud adalah hukum yang bersifat abadi dan universal.
-Sumbernya: dari Tuhan (irasional) dan akal (rasio) manusia.
-Tokoh: para pemikir skolastik di abad pertengahan.
2. Aliran Positivisme Hukum
-Hukum positif analitis, dipelopori oleh John Austin
Hukum positif analitis mengartikan hukum sebagai perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup.
-Hukum positif murni, dipelopori oleh Hans Kelsen
Dikatakan murni karena hukum itu harus dibersihkan dari hal-hal yang tidak yuridis, yaitu masalah etis, sosiologis, politis, dan sejarah. Ilmu Hukum adalah normatif, sebagaimana adanya yaitu terdapat dalam berbagai peraturan yang ada.
3. Aliran Utilitarianisme
Dalam aliran utilitarianisme hukum terdapat dua konsep utilitarianisme hukum yang dikemukakan oleh 2 orang tokoh, yaitu:
-Bentham, dengan konsepnya Individual Utilitarianisme, di mana perundangan hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar masyarakat.
-Jhering, dengan konsepnya Social Utilitarianisme di mana hukum dibuat oleh negara atau dasar kesadaran sepenuhnya untuk mencapai tujuan tertentu.
4. Mazhab Sejarah
Dipelopori oleh Von Savigny yang beranggapan bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Hukum ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa. Pandangan ini berpengaruh pada hukum adat. Selain itu, dipelopori juga oleh Sir Henry Maine yang beranggapan bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan perkembangan masyarakat dari yang sederhana ke masyarakat yang kompleks dan modern.
5. Aliran Sosiological Jurisprudence
Dipelopori oleh Roscoe Pound dengan anggapan bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial.
6. Aliran Realisme Hukum
Oleh J.C Gray dan O.W Holmes, undang-undang tidak ditempatkan sebagai sumber utama hukum. Unsur logika memegang faktor penting dalam pembentukan perundang-undangan, juga unsur kepribadian, prasangka, dan unsur lain yang berpengaruh besar.

Keenam aliran besar ilmu hukum menurut Lili Rasjidi di atas menjadi problema mendasar yang dapat dikaji secara filosofis. Aliran-aliran hukum tersebut dianalisis melalui beberapa dimensi filsafat untuk mempermudah dalam membongkar akar-akar fundamental yang membangun ilmu hukum. Dengan demikian ilmu hukum akan dikaji melalui dimensi metafisik, dimensi epistemologis, dan dimensi aksiologis. Lili Rasjidi, di dalam karyanya mengenai Filsafat Hukum belum merinci dimensi kefilsafatan tersebut dalam setiap aliran.

2. Ilmu Hukum dari Tinjauan Filsafat

a. Dimensi Metafisik atas Ilmu Hukum

Metafisika ingin mengungkapkan kenyataan kehidupan. Metafisika merupakan pertanyaan mengenai semua, yakni semua yang ada. Metafisika ingin memberi penjelasan terakhir dan definitif mengenai yang ada.
Metafisika sebagai cabang umum dari filsafat mengkaji yang ada, dalam arti semua realitas, atau apa saja yang berada .
Metafisika merupakan studi yang unik karena menyangkut realitas dalam semua bentuk atau manifestasi, bukan bagian tertentu realitas. Tidak dipedulikan di sini apakah bentuk itu atau manifestasi itu pada tingkat indrawi atau tidak.
Dalam hal pengaplikasian landasan metafisik dalam ilmu hukum, metafisika ingin mengungkap hakekat realitas dalam ilmu hukum yaitu bagaimana sebenarnya ilmuwan hukum dalam berbagai aliran ilmu hukum itu memandang Tuhan, manusia, dan hukum itu sendiri sebagai yang ada dibalik adanya ilmu hukum.

1. Landasan metafisik aliran hukum alam:
Pada dasarnya, ilmuwan hukum alam memandang alam sebagai akal dan meresapi seluruh alam semesta dan dianggap sebagai dasar dari hukum dan keadilan. Ilmuwan hukum alam memiliki pandangan terhadap Tuhan sebagai nafas keagamaan yaitu berkaitan dengan ajaran-ajaran gereja. Manusia dianggap sebagai individu yang memiliki kekhasan intelektual yaitu keinginan untuk bermasyarakat yang penuh damai dan hidup tenang bersama. Berkaitan dengan hal tersebut, ilmuwan hukum alam memandang hukum sebagai sebuah teori yang bersandar pada tabiat manusia yaitu sebagai makhluk berakal serta menunjukkan pada manusia bahwa ia adalah ciptaan kehendak dan kecerdasan Tuhan.
2. Landasan metafisik aliran positivisme hukum:
Ilmuwan psoitivisme hukum memandang Tuhan sebagai pembuat hukum untuk manusia (hukum Tuhan) sebagaimana undang-undang dibuat manusia untuk manusia. Manusia dianggap sebagai masyarakat yang berkembang dan berubah serta menimbulkan semangat dan sikap kritis terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Ilmuwan positivisme hukum memandang hukum sebagai bangunan rasional dan dari titik ini berbagai teori dan pemikiran dikembangkan maka hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
3. Landasan metafisik aliran utilitarianisme:
Ilmuwan utilitarianisme hukum memandang manusia sebagai individu yang berhak mendapat kebahagiaan sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan dan memandang hukum itu sendiri sebagai dasar kesadaran untuk mencapai tujuan tertentu.
4. Landasan metafisik mazhab sejarah:
Manusia dipandang oleh ilmuwan mazhab sejarah sebagai jiwa rakyat yang merupakan sumber dari adanya hukum. Hukum itu tumbuh dengan adanya perkembangan dan akan kuat bila masyarakatnya kuat dan suatu bangsa akan mati oleh hilangnya rasa nasionalisme.
5. Landasan metafisik aliran sociological jurisprudence:
Ilmuwan hukum aliran sociological jurisprudence menganggap manusia sebagai pusat perkembangan hukum bukannya terletak pada perundang-undangan, ilmu hukum ataupun keputusan hakim. Hukum itu sendiri merupakan lembaga kemasyarakatan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial.
6. Landasan metafisik aliran realisme hukum:
Ilmuwan aliran realisme hukum memandang manusia sebagai organisasi politik yang dengan akalnya membuat dan mengesahkan undang-undang. Hukum dipandang sebagai alat untuk membangun masyarakat.
b. Dimensi Epistemologi atas Ilmu Hukum

Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah hakekat pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi merupakan disiplin filsafat yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan.
Secara umum, epistemologi membahas teori-teori mengenai pengetahuan qua pengetahuan, kebenaran dan kepastian qua kebenaran dan kepastian.
Epistemologi digunakan untuk melihat asumsi ilmuwan hukum dari berbagai aliran hukum yang ada mengenai hakekat sumber kebenaran, metode yang digunakan, serta alat pengujian keabsahan kebenaran ilmu hukum (berkaitan dengan validitas ilmu hukum). Dengan mengetahui epistemologi hukum maka persoalan mendasar mengenai pengetahuan sebagai pembentuk ilmu hukum dapat dikenal bahkan menurut masing-masing aliran yang populer dianut oleh para ilmuwan hukum.

1. Landasan epistemologis aliran hukum alam:
Sumber kebenaran yang diyakini sebagai pembentuk aliran ini adalah Tuhan karena Tuhan dianggap sebagai pemberi jalan dalam konsep hukum berkaitan dengan ajaran-ajaran-Nya. Dengan demikian metode yang digunakan adalah metode hermeneutis sebab ilmuwan aliran hukum alam berusaha menafsirkan ajaran-ajaran dari Tuhan untuk dibawa kepada hukum dalam bermasyarakat. Untuk itu, teori kebenaran semantik sekiranya dapat dijadikan landasan uji keabsahan terhadap kebenaran atas teori hukum alam ini. Menurut Imam Wahyudi, teori kebenaran semantik menganggap proposisi dinyatakan benar dalam hubungannya dengan segi ‘arti’ atau ‘makna’ yang dikandungnya. Teori kebenaran ini terasa cocok disandingkan dengan metode hermeneutis yaitu menafsirkan dengan alat uji keabsahannya dari segi semantik.
2. Landasan epistemologis aliran positivisme hukum:
Sumber kebenaran dari aliran ini yaitu Tuhan dan kemauan juga akal manusia karena ilmuwan aliran ini sama sekali tidak mengabaikan posisi Tuhan di samping memperhatikan rasio manusia. Metode normatif merupakan metode yang digunakan ilmuwan positivisme hukum. Metode normatif merupakan metode penganalisis undang-undang sebab objek pembahasannya adalah norma atau kaedah. Untuk menguji keabsahannya, teori kebenaran non-deskriptif dapat digunakan karena teori ini menekankan penggunaan kata benar untuk menyatakan setuju atau menerima suatu proposisi dan salah sebagai menolak suatu proposisi. Pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas tetapi justru dengan pernyataan itu tercipta suatu realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Teori kebenaran inilah yang digunakan John Austin dalam menguji kebenaran atas teori yang digagasnya.
3. Landasan epistemologis aliran utilitarianisme:
Sumber kebenaran dalam aliran ini yaitu undang-undang yang mencerminkan keadilan sebab undang-undang yang diciptakan ilmuwan aliran ini sangat menekankan aspek tujuan yang membahagiakan masyarakat. Untuk itu, metode empiris dirasa dekat dengan aliran ini karena metode ini berusaha menganalisis masalah-masalah hukum disertai dengan solusi atas masalah tersebut yaitu hukum yang selama ini dirasa belum mencapai kebahagiaan masyarakat. Oleh karena itu ilmuwan aliran utilitarianisme berusaha melihat kondisi masyarakat yang terjadi dan menyusun undang-undang yang memberi kenyamanan dalam hidup bermasyarakat. Teori kebenaran pragmatis dapat dijadikan alat uji keabsahan dalam aliran ini sebab teori kebenaran pragmatis menganggap benar suatu ide apabila ide tersebut memungkinkan subjek berhasil memperbaiki dan menciptakan sesuatu. Selain itu, teori kebenaran ini menyatakan bahwa suatu ide atau teori tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu.
4. Landasan epistemologis mazhab sejarah:
Sumber kebenaran dalam aliran ini adalah pergaulan hidup manusia dari masa ke masa karena undang-undang diciptakan menurut kondisi kehidupan bermasyarakat. Metode historis dan empiris berperanan dalam aliran ini sebab aliran ini menekankan pada aspek historis masyarakat dengan menggunakan indrawi dalam memotret realita yang terjadi. Teori koherensi dapat dijadikan alat uji keabsahan terhadap teori dari aliran ini karena menurut teori ini, kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara proposisi dengan kenyataan melainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada . Berhubungan dengan relasi antar kejadian historis yang dijadikan dasar dalam penentuan hukum dalam aliran ini.
5. Landasan epistemologis aliran sociological jurisprudence:
Sumber kebenarannya adalah dari masyarakat sebab masyarakat berperan sebagai subjek pembuat undang-undang sekaligus objek yang menjalankan undang-undang tersebut. Metode sosiologis merupakan metode yang digunakan oleh ilmuwan aliran ini karena ilmuwan berusaha untuk merunut hukum dalam tinjauan isi dan bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan. Teori kebenaran korespondensi dapat dijadikan alat uji keabsahan terhadap kebenaran dalam aliran ini karena dalam teori kebenaran korespondensi dinyatakan bahwa pernyataan yang benar adalah sesuai suatu objek, situasi, dan kejadian (yang dalam hal ini sesuai dengan tata urutan kondisi sosiologis masyarakat per kejadian).
6. Landasan epistemologis aliran realisme hukum:
Sumber kebenaran aliran ini adalah akal dan logika manusia karena dengan kemampuan manusia tersebut hukum dapat tercipta. Metode yang digunakan yaitu metode deduksi di mana dalam metode tersebut, ilmuwan aliran realisme hukum melakukan proses pencarian kebenaran melalui penerapan logika. Teori kebenaran koherensi merupakan pendekatan yang digunakan dalam menentukan uji keabsahan aliran ini sebab penyesuaian antara proposisi dengan kenyataan melalui unsur logika sangat ditekankan dalam pengambilan keputusan kebenaran dalam aliran ini.

c. Dimensi Aksiologis atas Ilmu Hukum

Dimensi aksiologis memunculkan hubungan antara ilmu dengan perihal nilai. Dalam kaitannya dengan ilmu hukum, dimensi aksiologis berusaha membongkar hubungan antara ilmu hukum dengan nilai terkait dengan persoalan fundamental aksiologi yaitu apakah aktivitas dari ilmu hukum tersebut taut nilai atau bebas nilai. Selain itu, dari dimensi aksiologis juga dapat dicari tanggung jawab ilmuwan hukum dari berbagai aliran tersebut terhadap perkembangan ilmunya terutama bagaimana seorang ilmuwan hukum sebaiknya dalam mengambil sikap.

1. Landasan aksiologis aliran hukum alam:
Aktivitas dalam aliran hukum alam merupakan aktivitas yang taut nilai. Ilmuwan hukum terikat dengan ajaran-ajaran keagamaan yang ditawarkan kepadanya dan hal tersebut cenderung mempengaruhi sikap seorang ilmuwan dalam menentukan hukum yang sesuai pada kondisi masyarakat di mana ilmuwan tersebut dapat memberikan pengaruhnya. Maka sikap seorang ilmuwan aliran hukum alam ini harus objektif akan tetapi ia tetap terikat oleh kepercayaan yang diyakininya.
2. Landasan aksiologis aliran positivisme hukum:
Ilmu hukum tidak dapat menerima netralitas nilai. Sebab, hukum adalah hasil karya cipta manusia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada kehidupan yang tertib dan tentram, yakni ketertiban yang adil. Tiap kaidah hukum positif adalah hasil penilaian manusia terhadap perilaku manusia yang berorientasi pada ketertiban yang adil itu dan karena itu bertumpu pada atau dijiwai oleh nilai-nilai. Dengan kata lain, ilmu hukum itu lebih-lebih tidak bebas nilai. Oleh karena hukum dalam aliran positivisme hukum tidak bebas nilai maka sikap seorang ilmuwan hukum yang menganut aliran ini seharusnya harus objektif dalam melihat setiap kasus hukum.
3. Landasan aksiologis aliran utilitarianisme:
Aktivitas aliran utilitarianisme merupakan aktivitas yang taut nilai sebab aliran utilitarianisme memiliki tujuan/keinginan untuk membuat masyarakat bahagia melalui hukum dengan menciptakan situasi keadilan. Oleh sebab itu, ilmuwan hukum aliran utilitarianisme seharusnya harus terlibat dalam pembuatan kebijakan atau perundang-undangan yang akan ditetapkan dalam masyarakat sehingga keinginan untuk mencapai keadilan dapat termaktub dalam kebijakan atau perundang-undangan tersebut.
4. Landasan aksiologis mazhab sejarah:
Dalam mazhab sejarah, pengaruh subjektivitas ilmuwan terasa pada pendekatannya dengan realita masyarakat karena pada mazhab sejarah peranan periodisasi waktu dianggap memiliki pengaruh terhadap adanya hukum. Maka, hubungannya dengan nilai merupakan aktivitas yang taut nilai. Untuk mendapatkan data tentang kebijakan hukum, sikap seorang ilmuwan yang menganut aliran ini harus terus mengamati dan memantau gejala-gejala yang ada dalam masyarakat sehingga kebijakan hukum yang dibuat terus berkembang sesuai realita.
5. Landasan aksiologis aliran sociological jurisprudence:
Dalam sociological jurisprudence terdapat suatu kepentingan yaitu hukum dijadikan pendekatan kepada masyarakat. Oleh karena itu hukum bersifat taut nilai dengan kesubjektifan ilmuwan hukum aliran ini yang melihat hukum sebagai lembaga kemasyarakatan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Sikap seorang ilmuwan hukum aliran ini hendaknya terlibat dalam masyarakat sekaligus terlibat dalam menentukan kebijakan karena dengan demikian fungsi hukum yang diharapkan oleh aliran ini yaitu sebagai sarana pemenuhan kebutuhan sosial dapat terwujud.
6. Landasan aksiologis aliran realisme hukum:
Aliran realisme hukum membentuk konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dengan mengandalkan kemampuan logika manusia dalam mencapai tujuan sosialnya yaitu keadilan sosial. Bagaimanapun mereka beranggapan bahwa hukum yang mewujudkan keadilan selalu cenderung mengalami perubahan. Karena penekanannya pada tujuan tersebut maka sifat dari aliran realisme hukum ini adalah taut nilai. Sikap seorang ilmuwan aliran realisme hukum haruslah melandaskan unsur logika sebagai faktor penting dalam pembentukan undang-undang agar hukum dapat bermakna logis pada realitanya.










BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Dengan demikian filsafat dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam mengkaji persoalan fundamental dalam ilmu hukum. Ilmu hukum yang selama ini muncul dalam masyarakat sebagai paradigma kini dari paradigma tersebut dapat dibongkar asumsi-asumsinya dari kacamata filsafat.
Dari sudut pandang metafisika, rata-rata dalam setiap aliran memiliki asumsi bahwa hukum selalu berelasi dengan manusia dalam konteks menciptakan suasana keadilan. Keadilan sendiri merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam penciptaan hukum. Untuk membongkar realitas hukum, pandangan ilmuwan hukum terhadap hakekat realitas yang dalam konteks metafisika yaitu realitas manusia, Tuhan, alam, maupun hukum itu sendiri memiliki pengaruh besar dalam menjawab problem fundamental yang terdapat dalam ilmu hukum.
Epistemologi sebagai dimensi filosofis yang membahas sumber kebenaran, metode, dan validitas dari sebuah ilmu menjawab problem fundamental ilmu hukum dengan asumsi bahwa sumber kebenaran hukum merupakan titik tolak pencapaian hukum yang dapat digunakan untuk mengatur masyarakat agar tidak berada dalam situasi kacau. Beragam metode yang digunakan dalam penemuan kebenaran hukum ini merupakan metode yang kerap dipakai dalam praktek hukum. Soal keabsahan atau validitas ilmu hukum berbeda-beda sesuai dengan metode hukum yang dipakai oleh seorang ilmuwan hukum juga disesuaikan dengan aliran hukum yang dianutnya.
Kaitannya dengan perihal nilai, aksiologi memberikan dimensi tersendiri untuk menjawab persoalan fundamental hukum mengenai hubungan antara ilmu hukum dengan nilai (persoalan aktivitas ilmu hukum tersebut apakah taut nilai atau bebas nilai). Hubungan tersebut kebanyakan taut nilai kecuali aliran positivisme hukum yang bebas nilai karena terkait dengan objektivitas ilmuwan dalam menyusun konsepsi hukum. Selain mengkaji tentang hubungan ilmu hukum dengan nilai, dimensi aksiologis juga menjawab persoalan fundamental aksiologis lain yaitu bagaimana sikap atau tanggung jawab ilmuwan hukum terhadap aliran yang dianutnya. Dari masing-masing aliran tentu memiliki sikap serta tanggung jawab yang berbeda. Sikap dan tanggung jawab ini penting dipegang untuk melihat konsekuensi yang dialami oleh seorang ilmuwan hukum terhadap konsep hukum di mana ia terlibat dalam penentuannya.

2. Saran

Setelah penulis membuat kajian mengenai dimensi filosofis atas ilmu hukum ini maka penulis menyarankan sebaiknya yang dilakukan ilmu hukum adalah menyusun konsep hukum yang menjawab persoalan fundamental yang terjadi dalam hukum. Ilmu hukum tidaklah sekedar suatu disiplin ilmu yang bersifat normatif tetapi setidaknya para ilmuwan hukum memaknai hakekat hukum sebagai pembawa kedamaian dan kenyamanan dalam hidup bermasyarakat. Dengan pengetahuan dasar hukum yang kuat maka ilmu hukum akan dapat mengatur masyarakat tidak keluar dari jalur konsepsinya.

















DAFTAR PUSTAKA

Bagus Lorens, 1991. Metafisika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Dimyati, Khudzaifah. 2005. Teorisasi Hukum. Surakarta: Muhammadiyah University Press

Friedmann, W. 1990. Teori dan Filsafat Hukum. Jakarta: Rajawali

Huijbers, Theo. 1993. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius

Junaidy, Ronny. 2010. www.djpp.depkumham.go.id. Diakses tanggal 2 Februari 2010 pukul 00:16

Rasjidi, Lili. 1988. Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu?. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset

Wahyudi, Imam. 2007. Pengantar Epistemologi. Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM bekerja sama dengan penerbit Lima dan Faisal Foundation

EPISTEMOLOGI ILMU-ILMU KEMANUSIAAN DALAM PERSPEKTIF MICHEL FOUCAULT

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Ilmu-ilmu kemanusiaan merupakan ilmu yang dekat dengan manusia. Ilmu-ilmu kemanusiaan di sini berhubungan dengan ilmu yang dibuat oleh aliran positivisme sebagai suatu aliran besar yang memberikan standarisasi bagi ilmu untuk mendapatkan kebenaran. Hal tersebut disebabkan karena positivisme meyakini bahwa objektivitas itu ada. Penganut paham positivisme meyakini bahwa ilmu harus tersusun dengan konstruksi logis dan berdasarkan fakta yang jelas. Positivisme beranggapan pula bahwa pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris.
Ilmu-ilmu kemanusiaan menjadi tatanan pengetahuan tersendiri sebagai bentuk pengetahuan empiris yang bisa diterapkan pada manusia. Ilmu-ilmu kemanusiaan tidak mewarisi satu domain tertentu tetapi membiarkan tandus yang kemudian menjadi tugas mereka adalah mengelaborasi dengan metode positif dan dengan konsep yang paling tidak telah menjadi ilmiah.
Domain ilmu-ilmu kemanusiaan meliputi psikologi, sosiologi, juga ilmu budaya (termasuk ilmu bahasa). Dengan kata lain ilmu-ilmu tersebut terpengaruh oleh standar dari positivis dalam pembentukannya. Sementara ilmu sejarah merupakan induk dari semua ilmu tentang manusia.
Michel Foucault merupakan pemikir postmodernisme yang terpengaruh oleh nama besar Nietzche. Postmodernisme merupakan aliran yang menandai perubahan sosial di abad kontemporer. Pemikir-pemikir pada aliran tersebut cenderung untuk bersikap medekonstruksi masalah dalam upaya mencapai kepastian. Dekonstruksi dalam aliran postmodernisme bermaksud mengungkap makna tetapi dengan tidak mengabaikan hal-hal yang belum lengkap. Foucault memiliki pandangan mengenai episteme. Pandangan Foucault mengenai tidak ada sesuatu di dunia ini yang mutlak melainkan yang ada adalah hal yang relatif menimbulkan semangat dekonstruksi bagi ilmu. Kebenaran yang mutlak tidak mungkin tercapai karena adanya konstruksi pemikiran yang terus mengalami perubahan. Episteme Foucault sendiri memiliki arti khusus yaitu pengandaian-pengandaian tertentu, prinsip-prinsip tertentu, syarat-syarat kemungkinan tertentu, cara-cara pendekatan tertentu, dan juga episteme itu adalah sistem.
Foucault melakukan kritik terhadap tatanan pengetahuan terutama kritik terhadap positivisme yang mendewakan kemapanan pengetahuan. Ia sangat menjiwai ilmu yang terkait dengan manusia karena bagi Foucault tidak ada sesuatu yang objektif, segala sesuatu itu subjektif, segala sesuatu memiliki ruang cipta baik sadar atau tidak.
Di dalam buku yang ia tulis yaitu order of thing, ia ingin memaparkan arkeologi ilmu-ilmu kemanusiaan bahwa pengetahuan manusia tidak lagi mengambil bentuk dalam masa pencarian kita akan kesamaan dan kemiripan tetapi lebih pada permukaan dan kedalaman yang dibangkitkan kembali pada kesadaran ‘keheningan’ tak bernama yang mendasari dan memungkinkan bentuk-bentuk semua diskursus, bahkan dari ‘ilmu pengetahuan’ itu sendiri.
Dengan acuan dari karya Michel Foucault order of thing, penulis ingin mengkaji dimensi epistemologis yang terkandung dalam ilmu-ilmu kemanusiaan yang sekilas telah dibahas di atas. Dimensi epistemologis tersebut terkait dengan metode, aspek kebenaran, dan validitas dari ilmu-ilmu kemanusiaan yang digunakan oleh Michel Foucault. Sekaligus penulis ingin mencari tahu mengapa Foucault gencar mengkritik positivisme dan bagaimana konsep pemikiran Foucault terhadap perkembangan ilmu terutama ilmu yang sangat diminatinya yaitu ilmu-ilmu kemanusiaan.

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah dimensi epistemologis yang terkandung dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dalam perspektif Michel Foucault sekaligus bagaimana konsep pemikiran Michel Foucault terhadap perkembangan ilmu?


BAB II
PEMBAHASAN

1. Ilmu-Ilmu Kemanusiaan

Di dalam karyanya Order of Thing, Michel Foucault membahas ilmu-ilmu kemanusiaan sebagai berikut :
Mode of being manusia sebagaimana yang terdapat dalam pemikiran modern memungkinkan manusia untuk memainkan dua peranan: pada saat yang sama manusia berada pada landasan kepastian dan keberadaan, dalam satu jalan yang tidak bisa dianggap istimewa, dalam elemen hal-hal empiris. Kenyataan ini bukanlah menjadi persoalan di sini tentang esensi manusia secara umum tetapi semata-mata a priori historis yang sejak abad ke-19 telah bertindak sebagai landasan self-evident untuk pemikiran kita. Tidak diragukan lagi, fakta sangat menentukan persoalan status yang didasarkan pada ‘ilmu-ilmu kemanusiaan’, pada inti pengetahuan sebagai objeknya, mengambil manusia sebagai entitas empiris.
Ilmu-ilmu kemanusiaan bukanlah analisis tentang apakah manusia itu menurut hakikatnya tetapi sebuah analisis yang terbentang dari apakah manusia itu dalam positivitasnya (makhluk yang hidup, berbicara, dan memiliki tenaga) hingga apakah yang memungkinkan wujud yang sama ini untuk mengetahui (atau berusaha untuk mengetahui) apakah kehidupan itu, dalam hal apa esensi tenaga kerja dan hukumnya termuat. Dengan demikian, ilmu-ilmu kemanusiaan menempati jarak yang memisahkan (meskipun bukan tanpa berhubungan dengan mereka) biologi, ekonomi, dan filologi dari hal-hal yang memberikan kemungkinan pada mereka dalam wujud manusia. Karena itu, bisa jadi salah untuk melihat ilmu-ilmu kemanusiaan sebagai perluasan mekanisme biologi, yang diinteriosasikan dalam spesies manusia, dalam organismenya yang kompleks, dalam perilaku dan kesadarannya; dan tak kurang salahnya menempatkan ilmu ekonomi atau ilmu bahasa (yang memiliki kemampuan untuk mereduksi ilmu-ilmu kemanusiaan yang diekspresikan dalam usaha untuk membentuk ekonomi yang murni dan bahasa yang murni) di dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.
Kenyataannya, ilmu-ilmu kemanusiaan dalam ilmu-ilmu ini tidak lebih dari sekedar bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan ini memberikan interioritas kepada mereka melalui pembelokkan mereka menuju subjektivitas manusia. Ilmu-ilmu kemanusiaan berkembang dalam eksterioritas pengetahuan. Inilah apa yang mengkarakterisasikan ilmu-ilmu kemanusiaan bukanlah bahwa mereka diarahkan pada kandungan-kandungan tertentu (objek tunggal dan manusia); ia adalah karakteristik formal yang lebih murni: fakta sederhana bahwa dalam hubungannya dengan ilmu di mana manusia diberikan sebagai objek (khususnya dalam kasus ekonomi dan ilmu bahasa, atau parsial dalam kasus biologi), mereka berada pada posisi duplikasi.
Posisi ini bisa dipahami sebagai dua level: ilmu-ilmu kemanusiaan tidak memperlakukan kehidupan, tenaga, dan bahasa manusia dalam keadaan yang paling transparan di mana mereka bisa ditempatkan, tetapi dalam strata tindakan, perilaku, sikap, isyarat yang telah diciptakan, dll; pada level yang lain, selalu mungkin memperlakukan dalam gaya ilmu-ilmu kemanusiaan (psikologi, sosiologi, dan sejarah kebudayaan, gagasan atau ilmu) fakta bahwa bagi individu atau masyarakat tertentu ada sesuatu yang menyerupai pengetahuan spekulatif tentang kehidupan, produksi, dan bahasa.

2. Michel Foucault

a. Riwayat Singkat

Michel Foucault tidak pernah mengisahkan riwayat hidupnya bahkan selalu ia agak enggan untuk menyampaikan data-data biografis tentang dirinya. Hal itu tidak terlepas dari corak pemikirannya.
Michel Foucault lahir di Poiters, Perancis pada tahun 1926. Ia berasal dari kalangan medis, ayahnya seorang ahli bedah, seperti juga saudara dan kakeknya. Orang tua Foucault mengharap anaknya mengikuti jejak yang sama, tetapi ia “membangkang” dan memilih belajar filsafat, sejarah dan psikologi. Sikap ini mengisyaratkan bahwa sejak lama Foucault memang tidak menyukai sesuatu yang mapan. Ia menempuh masa studinya di Ecole normalle superiure pada 1945 dan mendapat license pada bidang filsafat (1948), psikologi (1950) dan psikopatologi (1952).
Foucault paling dikenal dengan penelitian tajamnya dalam bidang institusi sosial, terutama psikiatri, kedokteran, ilmu-ilmu kemanusiaan dan sistem penjara, dan karya-karyanya tentang sejarah seksualitas. Karyanya yang menelaah kekuasaan dan hubungan antara kekuasaan, pengetahuan dan "diskursus" telah banyak diperdebatkan secara luas. Pada tahun 60-an Foucault sering diasosiasikan dengan gerakan strukturalis. Foucault kemudian menjauhkan dirinya dari gerakan pemikiran ini. Meski sering dikarekterisasikan sebagai seorang posmodernis, Foucault selalu menolak label post-strukturalis dan postmodernis.
Karya-karya tulisannya antara lain Madness and Civilization, The Birth of the Clinic, Death and The Labyrinth, Order of Thing, The Archaeology of Knowledge, Discipline and Punish, dan The History of Sexuality.
Disarikan dari buku karya Misnal Munir, Foucault membagi jaman berdasarkan episteme. Episteme dalam filsafat Foucault memiliki arti khusus yaitu suatu pengandaian-pengandaian tertentu, prinsip-prinsip tertentu, syarat-syarat kemungkinan tertentu, cara-cara pendekatan tertentu, dengan demikian episteme adalah sistem.
Foucault membagi episteme atau sistem pemikiran dalam tiga jaman berdasar struktur-struktur yang ada pada waktu itu :
- Abad ke-16 (Renaissance), contoh episteme pada jaman ini adalah resemblance atau kemiripan (wajah manusia menyerupai bulan, dll).
- Abad ke-17 dan 18 (Klasik)
Pada jaman ini terjadi diskontinuitas dalam episteme atau sistem pemikiran. Kata kunci episteme jaman ini adalah representation (penghadiran/pembayangan).
- Abad ke-19 dan 20 (Post Klasik/Modern)
Episteme pada zaman ini juga mengalami diskontinuitas. Kata kunci untuk menerangkan jaman ini adalah signification.
Dalam episteme jaman modern, manusia hadir sebagai subjek yang mengetahui sekaligus sebagai objek yang diketahui yaitu manusia dilihat sebagai makhluk yang berbicara, hidup, dan bekerja; manusia ditentukan oleh hukum-hukum bahasa, struktur organis biologis, dan hukum-hukum produksi; manusia sebagai sosok utuh yang dibahas dalam berbagai pengetahuan dan diskursus; serta manusia kehilangan kedudukannya sebagai kategori utama pengetahuan, yaitu hilangnya konsep manusia sebagai suatu kategori istimewa.

b. Corak Pemikiran

Michel Foucault merupakan salah satu filsuf postmodernisme (walaupun ia sangat enggan disebut postmodernis) karena ia memiliki corak mendekonstruksi persoalan yang terjadi di dunia. Yang mencolok dalam hubungannya dengan Foucault adalah persoalan mengenai dunia sastra dan persoalan linguistik serta sejarah.
Seperti yang dijelaskan oleh Bambang Sugiharto bahwa dekonstruksi cenderung hendak mengatasi gambaran dunia (worldview) modern melalui gagasan yang anti gambaran dunia sama sekali. Mereka mendekonstruksi atau membongkar segala unsur yang penting dalam sebuah gambaran dunia seperti: diri, Tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, dst. Awalnya strategi dekonstruksi ini dimaksudkan untuk mencegah kecenderungan totaliterisme pada segala sistem, namun akhirnya cenderung jatuh ke dalam relativisme dan nihilisme. Dapat dikatakan, bahwa mereka ini menarik segala premis modern dan membenturkannya pada konsekuensi logis paling ekstremnya.
Foucault berangkat dari titik pandang strukturalisme untuk mengkritik konsep Kantian tentang “subjek” beserta segala bangunan ide yang didasarkan pada Kant. Namun tugas “arkeologis” untuk menganalisa logika intern suatu wacana yang otonom akhirnya diserap dalam proyek “genealogis” yang mengincar sejarah objektivikasi objektivitas. Cara kerja Foucault ialah misalnya melalui analisis historis atas gagasan-gagasan dasar yang telah membentuk kita sebagai subjek maupun objek pengetahuan. Dengan cara ini Foucault mau mempersoalkan segala hal yang biasanya dianggap normal, rasional, universal, mutlak, dan gamblang dengan sendirinya atau eviden. Ini terutama dilacak dengan melihat hubungan-hubungan kekuasaan dalam sejarah.
Sementara itu tulisan Foucault terbuka dan jelas terhadap beragam diskursus yang dalam hal ini Foucault lebih membahas dalam dimensi diskursus kekuasaan. Ia sangat gamblang dalam membongkar ruang yang selama ini tertutup dan tidak takut mempopulerkan bahasa-bahasa yang mungkin sedikit vulgar untuk dibahas.
Dalam rangka menyelidiki beragam diskursus, Foucault menggunakan tiga konsep yaitu positivitas, apriori historis, dan arsip. Positivitas suatu diskursus atau ilmu adalah suatu “lingkup komunikasi” antara pengarang-pengarang atau ilmuwan-ilmuwan. Apa yang memungkinkan suatu positivitas oleh Foucault disebut apriori historis. Dengan itu dimaksudkan keseluruhan syarat-syarat atau aturan-aturan yang menentukan suatu diskursus. Akhirnya, arsip adalah sistem pernyataan yang dihasilkan oleh berbagai positivitas sesuai dengan apriori historis masing-masing. Foucault mengatakan juga arsip adalah sistem pembentukan dan transformasi pernyataan-pernyataan.

3. Kajian Foucault terhadap Dimensi Epistemologis dalam Ilmu-Ilmu Kemanusiaan

Pada dasarnya, dimensi epistemologis berbicara mengenai kebenaran, metode, dan validitas yang dalam hal ini berbicara mengenai kebenaran, metode, dan validitas dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.
Ilmu-ilmu kemanusiaan diistilahkan Foucault dalam karyanya Order of Thing. Dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, manusia dijadikan sebagai objek di mana ‘ilmu-ilmu tentang manusia’ tersebut menjadi bagian dari episteme modern sama seperti kimia atau kedokteran atau sejumlah ilmu lainnya. Tetapi Foucault beranggapan bahwa ilmu itu sebenarnya tidak bermakna.
Adapun metode yang digunakan Foucault dalam membongkar persoalan pengetahuan adalah metode arkeologi dan metode geneanologi. Metode arkeologi merupakan pendekatan yang Foucault lakukan hingga 1970. Ia mendefinisikan arkeologi sebagai eksplorasi sejumlah kondisi historis nyata dan spesifik dimana berbagai pernyataan dikombinasikan dan diatur untuk membentuk atau mendefinisikan suatu bidang pengetahuan/obyek yang terpisah serta mensyaratkan adanya seperangkat konsep tertentu dan menghapus batas rezim kedalaman tertentu.
Sementara metode geneanologi digunakan Foucault yang dikembangkan dalam Surveiller et punir, tentu saja mengingatkan kita kepada konsep geneanologi Nietszche dalam “The Birth of Tragedy and Geneanology Morals”. Nietszche mendefinisikan geneanologi sebagai antitesis kecenderungan pencarian asal-usul yang bersifat alpha-omega, dengan kata lain Nietszche menolak objektivitas dan monopoli versi kebenaran. Pendefinisian Nietsche tersebut, kemudian diambil alih oleh Foucault untuk menunjukkan relasi kontinuitas-diskontinuitas dalam sebuah diskursus. Jadi dalam hal ini, geneanologi mengambil bentuk berupa pencarian kontinuitas dan diskontinuitas dari diskursus. Geneanologi tidak mencari asal-usul, melainkan menelusuri awal dari pembentukan diskursus yang dapat terjadi kapan saja. Foucault dalam kerangka metodelogis ini, tidak menggunakan verstehen (pemahaman) melainkan destruksi dan pembongkaran hubungan-hubungan historis yang disangka ada antara sejarawan dengan objeknya. Jika dalam arkeologi, proyek metodelogi diarahkan untuk menggali situs lokal praktik diskursif, maka geneanologi beranjak lebih jauh yaitu untuk menelaah bagaimana diskursus berkembang dan dimainkan dalam kondisi historis yang spesifik dan tak dapat direduksi melalui operasi kekuasaan.
Kritik Foucault terhadap pengetahuan yaitu pengetahuan haruslah bersifat subjektif. Untuk hal ini ia menolak anggapan positivisme bahwa pengetahuan dan ilmu haruslah objektif. Alasan Foucault mengkritik positivisme karena segala sesuatu itu memiliki ruang tersendiri baik secara sadar maupun tidak pada saat terbentuknya suatu pengetahuan. Aspek subjektivitas ini berpengaruh pada konsep pemikiran manusia terhadap perkembangan ilmu di mana manusia memiliki kuasa untuk mengambil sikap terhadap diterima atau ditolaknya suatu ilmu. Dengan ilmu yang berkembang secara diskontinuitas, Foucault meyakini bahwa setidak-tidaknya perkembangan ilmu membebaskan peranan manusia dalam menentukan perspektifnya terhadap suatu konsep pengetahuan.
Kebenaran merupakan hasil produksi kekuasaan yang subjektif, karena melibatkan relasional pengetahuan sehingga bersifat disiplin. Foucault juga bermaksud menunjukkan hubungan antara ilmu-ilmu kemanusiaan dengan teknologi dominasi.
Mengenai validitas pengetahuan sebagai ilmu, Foucault dengan tegas menolak epistemologi modern yang telah menghasilkan berbagai pandangan tentang kebenaran. Menurutnya kebenaran itu adalah urusan duniawi: diproduksi hanya melalui segala bentuk pengekangan. Dengan kata lain kebenaran adalah produk kekuasaan. Maka dari itu, setiap masyarakat memiliki rezim kebenarannya sendiri, memiliki semacam politik kebenaran.
Dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu tersebut akan menghilang seiring berjalannya waktu saat timbul suatu pemikiran lain. Foucault sangat mementingkan diskontinuitas dalam sejarah. Dengan kata lain, pengetahuan berkembang berkaitan dengan periode yang saling berkaitan satu sama lain, periode sekarang tidak dapat lepas dari periode sebelumnya.
Karya Foucault sejak Order of Thing dapat digunakan untuk penegasan wawasan di mana Foucault berkata manusia tidak mampu menggambarkan dirinya sendiri sebagai suatu konfigurasi dalam episteme tanpa pemikiran di saat yang sama menemukan baik dalam dirinya sendiri dan di luar dirinya sendiri, dalam batas-batasnya sejauh ini, juga pada ketidaklurusan suatu unsur kegelapan, suatu kedalaman yang tampak jelas di mana ia ditanamkan, sesuatu di luar pemikiran yang dikandung seluruhnya masih di tempat juga ditangkap.








BAB III
KESIMPULAN

Michel Foucault yang tergolong filsuf postmodern merupakan filsuf yang mengkritik susunan pengetahuan dan ia menolak kemapanan ilmu. Baginya, ilmu selalu mengalami kondisi diskontinuitas di mana ilmu selalu berkembang secara berkelanjutan. Adanya ilmu yang sekarang tidak dapat terlepas dari ilmu yang berkembang sebelumnya.
Diskontinuitas tersebut terjadi dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Ilmu-ilmu kemanusiaan di sini berhubungan dengan ilmu-ilmu yang dibuat oleh manusia. Foucault menganggap ini sebagai diskursus tentang kemanusiaan. Berkaitan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan, salah satu karyanya yaitu Order of Thing menampilkan diskursus mengenai ilmu-ilmu kemanusiaan tersebut dalam bentuk wacana penggunaan dan penyalahgunaan otoritas pengetahuan manusia.
Epistemologi sebagai salah satu dimensi filsafat yang berusaha menyingkap kebenaran pengetahuan sebagai dasar penyusun ilmu mengkaji ilmu-ilmu kemanusiaan Foucault tersebut sebagai bentuk kritik atas positivisme yang mengandalkan kemapanan ilmu sebagai sesuatu yang benar dan pasti keabsahannya. Maka secara tidak langsung, positivisme menekankan pada aspek logis dan objektif. Sementara Foucault menolak gagasan ini karena ia beranggapan bahwa terbentuknya ilmu berdasarkan aspek subjektivitas manusia. Melalui subjektivitas manusia, ia bebas untuk menentukan sekaligus mengambil sikap terhadap ilmu. Oleh karena itu, ilmu-ilmu kemanusiaan merupakan ilmu yang dibuat manusia untuk selalu berkembang bukan untuk dibuat mapan dan berlaku seterusnya.
Berdasarkan argumen tersebut, penulis merasa bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan yang dimaksud Foucault memiliki hubungan dengan ilmu sosial dan humaniora termasuk di dalamnya psikologi, sosiologi, dan ilmu budaya yang terbentuk oleh budaya positivisme. Ilmu-ilmu tersebut setidak-tidaknya membongkar kembali dimensi epistemologinya agar kebenaran yang ada tidak semata-mata benar secara mutlak namun ada diskontinuitasnya. Dari sini pula Foucault dapat dikatakan mendekonstruksi struktur pengetahuan agar ilmu benar-benar matang secara konsep.

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Utama:

Bertens, K. 1996. Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia

Foucault, Michel. 2007. Order of Thing Arkeologi Ilmu-Ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Munir, Misnal. 2008. Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer. Yogyakarta: Lima

Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius

Referensi Internet:

Maulidiansyah, Roli. Kritik Foucault terhadap Positivisme: Pembacaan Arkeologis dan Geneanologis atas Rezim Kuasa. http://roliandalas.blogspot.com/2008/10/kritik-foucault-terhadap-positivisme.html. diakses tanggal 13 Oktober 2008

Forumkami. Biodata Michel Foucault. http://www.forumkami.com/forum/pendidikan/28840-biodata-michel-foucault.html. diakses tanggal 14 Desember 2009

TAUKAH ANDA ADA PIZZA ENAK DI YOGYA ??? IL MONDO LAH JAWABANNYA

Dah bertaon2 tinggal di yogya jarang2 makan enak. Apalagi makan pizza. Coz maklum lah mahasiswa masih tergantung sama ortu lg jadinya uang saku juga terbatas!
Akan tetapi karena nafsu dan keinginan tidak sebanding dengan pendapatan maka saya dan 2 orang teman saya yang gila dan sedikit mempunyai kemiripan dengan saya, melakukan suatu tindakan anarkis! Yaitu... NEKAD MAKAN MAKANAN MAHAL !
Pinternya, uang yang ada di dompet masing2 berkisar Rp 50.000,00 saja.

Iseng punya iseng,, hari itu hari rabu tanggal 22 September 2010,, kami jalan2 di Tebetnya Jogja yaitu Demangan buat ngunjungin satu butik baru yang ada merk ANTI BEAUTY nya. Setelah masuk sana kami kecewa berat gara2 barangnya sama sekali tidak menarik! Alhasil kami keluar masuk distro2 yang bertebaran disana.

Setelah cukup capek berputar2 kami melihat suatu tempat makan. Langsung kami menemukan ide cemerlang! hahaha... MAKAN disana! Ternyata tempat itu bernama IL MONDO. Di sana menyajikan pasta, pizza, dan sejenisnya.

Begitu sudah disediakan tempat, kami disodori menu yang kami sama sekali ga tau wujudnya seperti apa. Asal pilih aja sih, kami memilih menu pasta yaitu FETTUCINE PUTANESCA dan menu pizza yaitu CALZONE IL MONDO. Ya itu tadi,, gara2 anak kosan menu kayak gitu urunan deh cara belinya! ckckck...

Begitu pesanan pertama datang, pasta langsung kami sikat. Ternyata rasa pastanya kurang enak. Dari segi penampilan biasa aja, kebanyakan saos, ga gitu minat deh. Tapi ya tetep aja abis! hahaha...



Begitu pesanan kedua datang, waaaahhhhhh makannya kayak orang bar2. Gimana ngga, penampilannya aja menarik banget. Pizza dibungkus pastel gitu tapi gedenya sepiring diameter 20cm2an kyknya. Dah gitu, rasanya.. hmmmmmmm.... mantephlah pokok'e... Nha gara2 itu tu,, aku sampe lupa moto wajah pizzanya dan gara2 itu juga kami ketagihan n pengen pesen pizza lagi!

Nekat punya nekat, walaupun dompet tipis. Sekitar setengah jam kemudian kami pesen pizza lagi. (Padahal dah kenyang tu ceritanya, gara2 temenku ngomong parmesan n aq inget ada menu yang pake parmesan dan keju semua akhirnya aku ngusulin pesen lagi aja sama temen2ku.. haha, tapi mereka juga SEPAKAT!)
Pesenan kami yang ketiga ini adalah pizza QUATRO FORMAGGI di mana ada 4 jenis keju sebagai toppingnya.. Alamaaakkkk... begitu dimakan, nikmatnya tak terkira. Belum dikunyah tu, baru nempel di lidah doank, rasanya udah menjalar. Enak lah pokoknya. Rugi kalo kesana ga pesen QUATRO FORMAGGInya.





Setelah puas melahap ketiga menu tersebut, kami malah melakukan kegiatan ALAY! Foto2 di IL MONDO dengan beragam gaya yang sumpah deh ngalaynya. ya maklum aja.. karena ga ada orang lain yang makan selain kami sih. hee....

Ngalaynya lagi, pulang dari sana kami masih aja cekikan sendiri nginget kenekatan kami yang abis tu dompet kosong semua tapi berhasil makan makanan yang super duper enak. Huff.. dan kami sepakat untuk bernekad2 lagi suatu hari kelak. :D

BUAT REFERENSI AJA:
IL MONDO berlokasi di Jl. Cendrawasih no.21A, Demangan, Yogyakarta.



ya gitu deh pengalaman berharganya sisca dan 2 temannya yang aneh..
Asri n Venti,, tanpa kalian tulisan ini ga berhasil diunggah lho cintttt....

at least,,
"Have a Nice Culinary.."
:)